Nukilan.id – Draft revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang rencananya akan diajukan kepada pemerintah pusat untuk disahkan terkesan masih abal-abal dan berpotensi memalukan Aceh hingga menuai polemik di kemudian hari.
“Sejauh ini DPRA hanya melakukan sosialisasi draft tersebut kepada DPRK-DPRK di Aceh, sehingga sangat wajar perubahan yang terjadi pada draft UUPA itu hanyalah untuk mengakomodir kepentingan dewan belaka dan bahkan kejanggalan-kejanggalan masih banyak ditemukan. Untuk itu, kita minta sebelum draft UUPA diajukan ke DPR RI/pemerintah pusat terlebih dahulu dilakukan uji publik agar tidak mempermalukan Aceh nantinya,”kata Koordinator Gerakan Muda Aceh Sepakat (GeMAS) kepada media, Sabtu (25/3/2023).
Ikhwan memaparkan, salah satu poin yang terlihat sangat janggal pada draft revisi UUPA dapat dilihat dari Bab II Pembagian Daerah Aceh dan Kawasan Khusus Pada Pasal 2 dimana ayat (3) kecamatan dibagi atas mukim yang sebelumnya terdapat pada UUPA dihapus pada draft revisi UUPA. Kemudian pada ayat 2 ayat (2) draft revisi UUPA tersebut langsung dibuat bahwa Kabupaten dibagi atas mukim.
“Hal ini menegaskan tidak ada lagi kecamatan dalam pembagian wilayah di Aceh, jadi ke depan jika draft ini dipaksakan disahkan maka dari tingkat kabupaten langsung ke mukim, tidak adalagi yang namanya kecamatan atau camat,” ujarnya.
Ironisnya lagi, kata Ikhwan, setelah kecamatan dihapus pada pasal 2 ayat (3) tersebut, selanjutnya pada draft revisi UUPA itu bab XIV tentang perangkat daerah Aceh dan pasal 100 ayat (2) kembali disebutkan kecamatan. Kemudian pada pasal 112 juga dijelaskan persoalan kecamatan yang dipimpin oleh camat hingga adanya pemilihan camat secara demokratis.
Selanjutnya kata Ikhwan, pada pasal 98 ayat (3) draft revisi UUPA juga terlihat aneh dimana sejumlah perangkat dihapuskan dari lembaga adat. “Pada draft revisi itu terlihat jelas dimana imeum mukim, imeum chik, keuchik, tuha peut, tuha lapan, imeum meunasah dihapuskan dari bagian lembaga adat,”jelasnya.
Belum lagi, kata Ikhwan, jika kita melihat potensi pengawasan pemilu yang cenderung dipilih oleh DPRK/DPRA dengan nama panwaslih yang dipilih oleh DPRA yang notabenenya lembaga yang diisi oleh perwakilan partai politik, sehingga berpotensi menciderai proses pengawasan demokrasi di Aceh.
“Bahkan pada pasal itu poin 4 terkait masa kerja panwaslih juga tidak diatur lamanya. Ironisnya setelah dipilih DPRA panwaslih tadi justru SK nya ditetapkan bawaslu pusat. Ini kan juga perlu dikaji agar demokrasi di Aceh ini tak hanya untuk memberikan kewenangan terlalu dominan kepada DPRA/DPRK hingga merusak kualitas demokrasi,”paparnya.
Kata Ikhwan, hal itu baru beberapa dari banyak pasal yang diubah bahkan dihapus pada draft revisi UUPA.
“Anehnya selama ini sangking tertutupnya publik malah tidak tau apa-apa saja pasal yang berubah pada draft revisi UUPA yang akan diajukan. Publik selalu hanya disuguhkan alasan agar otsus diperpanjang maka UUPA perlu direvisi, tapi draft revisi UUPA tersebut tak dilakukan uji publik, ini kan lucu,” sebut mahasiwa Fisipol Unsyiah itu.
Menurut GeMAS, untuk menghindari hal-hal aneh dan memicu polemik dikemudian hari pihaknya menyarankan agar draft revisi UUPA dilakukan uji publik sebelum diserahkan ke pusat.
“Jika DPRA ingin menjadikan UUPA sebagai milik seluruh masyarakat Aceh maka kita minta dilakukan uji publik hingga sosialisasikan kepada publik melalui ruang publik, lalu libatkan semua komponen masyarakat mulai civil society, media, akademisi, ulama dan lain-lain. Sehingga pasal-pasal yang direvisi benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat Aceh bukan hanya kepentinga sekelompok orang mengatasnamakan rakyat Aceh,” tegas pemuda asal tanoh gayo itu.[]