Nukilan.id – Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia (DPW SPI) Aceh mengungkapkan harga gabah kini anjlok setelah Badan Pangan Nasional (Bapanas)
menetapkan harga baru. Kondisi ini tentunya bisa membuat petani bangkrut, karena harga jual dari petani terus menurun.
Anjloknya harga gabah di tingkat petani setelah Surat Edaran (SE) Badan Pangan Nasional (Bapanas) tentang Harga Batas Atas Gabah atau Beras ditandatangani, Senin (20/2/2023) dan berlaku Senin (27/2/2023),harga Gabah Kering Panen (GKP) ditingkat petani terus turun.
SE Bapanas memuat beleid Harga Batas Atas GKP Petani sebesar Rp. 4.550 per kg. Angka ini sangat jauh dari perhitungan biaya pokok produksi petani padi yang berada di angka sekitar Rp. 5.050 per kg.
Ketua DPW SPI Aceh, Agus Syahputra menjelaskan, rata-rata harga gabah petani sebelum SE Bapanas sekitar Rp. 5.800 per kg. “Namun setelah SE Bapanas ditandatangani, harga gabah saat ini anjlok ke Rp. 4.800-Rp. 5.200 per kg,” Kata Agus Syahputra, Senin (6/3/2023).
Dampak dari surat edaran tersebut, kata Agus, kondisi petani padi di Aceh saat ini dalam posisi merugi. Apalagi di beberapa wilayah sentra produksi padi sudah mulai memasuki masa panen raya. Meskipun penurunan harga juga dipengaruhi gabah yang melimpah dan faktor cuaca, SE Bapanas dinilai menjadi pendorong kuat harga gabah petani merosot secara drastis.
“Sebab kebijakan ini rentan dimanfaatkan para pembeli gabah untuk membayar harga gabah yang terendah (batas bawah),” Jelasnya.
Oleh karena itu, SPI Aceh mendesak Pemerintah Aceh untuk membeli gabah petani sebagai stok pangan daerah, penyerapan gabah petani bisa dikerjasamakan dengan Perum Bulog. Sehingga petani tidak mengalami kerugian yang lebih besar akibat terbitnya surat edaran tersebut.
SPI Aceh juga mengusulkan agar pemerintah daerah membangun dan memperbaiki penggilingan padi kecil dan menengah, kemudian dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan koperasi-koperasi petani.
“Peran koperasi petani dalam usaha perberasan sangat penting, terutama untuk mencegah pemain tengah meraup untung yang tidak adil, meningkatkan harga gabah petani di tingkat hulu, dan menjamin harga beras yang terjangkau bagi konsumen,” tutup Agus Syahputra.[]