Ketua KPK: Jangan Ada Uang Ketok Palu di Aceh

Share

Nukilan.id – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengingatkan seluruh jajaran pemerintah daerah di wilayah Aceh agar tidak melakukan korupsi pada proses pengesahan suatu kebijakan.

“Pak Gubernur, Pak Bupati, Pak Walikota saya titip pesan jangan pernah ada uang ketok palu. Kalau itu sampai terjadi, tujuan negara tidak akan pernah terwujud. Ketok palu awal korupsi,” tegas Firli.

Baca juga: Ketua KPK: Koruptor, Kebanyakan Istrinya Lebih dari Satu

Demikian disampaikan Firli di hadapan 24 kepala daerah meliputi gubernur dan bupati/walikota beserta jajaran, serta Perwakilan BPKP dan BPK di wilayah Aceh dalam rapat koordinasi program pemberantasan korupsi terintegrasi, bertempat di Auditorium Kantor Gubernur Aceh, Jumat, (26/3/2021).

Dalam kesempatan tersebut, Firli memaparkan peran dan tanggung jawab para kepala daerah dalam mewujudkan tujuan nasional pada konteks pemberantasan korupsi. Dia mengajak peserta yang hadir untuk menengok kembali sejarah Aceh yang melahirkan banyak pahlawan dan telah memberikan kontribusi besar dalam kemerdekaan dan pembangunan bangsa Indonesia.

“Saya minta sejarah ini menjadi roh, energi, dan semangat bagi gubernur, bupati, walikota, tokoh masyakat, tokoh agama, akademisi, kepala dinas, dan seluruh elemen masyarakat untuk turut serta mewujudkan tujuan nasional,” pinta Firli.

Seluruh elemen masyarakat, sebut Firli, harus saling bersinergi dan mengawasi agar keuangan negara yang dikelola pemerintah Aceh memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat Aceh. Apalagi, lanjutnya, pemerintah pusat telah menggelontorkan anggaran yang besar bagi Aceh melalui APBD, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil, serta Dana Otonomi Khusus (Otsus).

“DPRD dengan kewenangannya harus cek Gubernur, Bupati, Walikota, apakah dengan anggaran yang besar ini sudah memberikan kebermanfaatan yang optimal bagi masyarakat,” pesan Firli.

Baca juga: Perkuat Sinergitas, KPK Koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum di Aceh

Firli melanjutkan, dalam mengawasi keberhasilan suatu pemerintah daerah dalam mengelola anggarannya dapat dilakukan di antaranya melalui pengukuran kenaikan/penurunan angka kemiskinan, angka pengangguran, angka kematian ibu hamil, angka kematian bayi, indeks pembangunan manusia, pendapatan per kapita, serta angka genio ratio. Indikator-indikator tersebut, sambungnya, juga berkaitan dan bisa menggambarkan apakah terjadi korupsi atau tidak di suatu daerah.

“Oleh karenanya, saya pesan kepada pemerintah daerah untuk tidak sungkan meminta pendampingan kepada BPK dan BPKP dalam mengelola keuangan daerah agar akuntabel dan memberikan manfaat yang optimal,” ujar Firli.

Sementara itu, dalam sambutannya Gubernur Aceh Nova Iriansyah mendorong komitmen para kepala daerah tingkat II untuk membantu KPK mencegah korupsi.

“Capaian Monitoring Centre for Prevention (MCP) Aceh pada 2020 sebesar 50 persen atau masuk dalam zona kuning. Kemudian target kita tahun ini sebesar 80,66 persen agar masuk zona hijau. Untuk itu, saya minta bupati dan walikota tidak hanya sebatas melaporkan MCP, namun harus dibuktikan dengan kerja nyata yang bersih untuk kesejahteraan masyarakat,” imbuh Nova.

Kegiatan koordinasi dan supervisi KPK dalam mengintervensi pemerintah daerah, difokuskan pada 8 area, salah satunya mendorong penertiban aset daerah. Pada rangkaian rapat koordinasi ini KPK menyaksikan penandatanganan kesepakatan penertiban atas 8 aset yang selama ini pencatatan dan pengelolaannya tumpang-tindih.

Baca juga: KPK Tagih Implementasi Pendidikan Antikorupsi di Aceh

Kedelapan aset tersebut meliputi dua aset yang disepakati untuk dikelola dan dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh dari Pemkot Banda Aceh, yaitu:

  1. Banda Aceh Madani Education Center (BMEC) dengan luas 51.143 m2 senilai Rp78,63 Miliar;
  2. Rumah Budaya seluas 2.431 m2 senilai Rp0,29 Miliar.

Sehingga total kedua aset tersebut senilai Rp78,92 M.

Sedangkan enam aset yang disepakati untuk dikelola dan dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh yaitu:

  1. Stadion H. Di Murthala seluas 17.692 m2 senilai Rp12,02 Miliar;
  2. Pendopo Walikota seluas 1.568 m2 senilai Rp4,67 Miliar;
  3. SD 47 seluas 2.280 m2 senilai Rp1,92 Miliar;
  4. Cold Storage Lampulo seluas 4.662 m2 senilai Rp0,82 Miliar;
  5. Pasar Al Mahirah Lamdingin seluas 26.690 m2 senilai Rp1,43 Muliar;dan
  6. Tanah dan bangunan reservoir senilai Rp1,64 Miliar.

Sehingga total enam aset tersebut senilai Rp22,51 Miliar.

Baca juga: Terkait Dana Otsus, Ketua KPK Ingatkan Pemerintah Aceh

Selain itu, saat ini KPK juga sedang mendampingi proses kesepakatan terkait hibah tanah untuk reservoir Kota Banda Aceh dari Pemerintah Aceh. Aset seluas 6.655 m2 di Lambaro ini senilai Rp1,6 Miliar.

Menutup rakor, KPK menyampaikan komitmen untuk terus mendorong sekaligus mengingatkan kepada seluruh jajaran pemerintah daerah agar tidak terjerumus dalam perbuatan korupsi.

“Jadilah gubernur, bupati, dan walikota yang baik dengan tidak melakukan korupsi,” pungkas Firli.[]

Baca juga: Nova Sampaikan Capaian LHKPN Pejabat Pemerintah Aceh ke Pimpinan KPK

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News