Nukilan.id – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menegaskan industri kelapa sawit Indonesia berkomitmen untuk memenuhi aturan ketenagakerjaan yang berlaku. Termasuk bagi pekerja di sektor perkebunan kelapa sawit.
“Industri sawit Indonesia tetap punya komitmen untuk comply (memenuhi) kepada regulasi. Khususnya ketenagakerjaan juga di perkebunan,” ungkap dia dalam webinar bertajuk Perlindungan Pekerja Perempuan di Perkebunan Sawit, Selasa (23/3).
Bos Gapki ini menjelaskan, komitmen untuk taat pada aturan ketenagakerjaan diperkuat atas sertifikasi yang diberikan oleh Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) kepada industri sawit nasional. ISPO sendiri merupakan upaya pemerintah untuk memastikan seluruh kegiatan di industri sawit nasional tetap ramah lingkungan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
“Dan masalah ketenagakerjaan menjadi satu yang penting di ISPO, dan itu menjadi prinsip keempat. Ini bukti bahwa aturan sawit comply dengan aturan ketenagakerjaan,” tambahnya.
Oleh karena itu, Gapki memastikan bahwa industri sawit nasional terus bersolek untuk terciptanya iklim kerja yang tidak hanya ramah lingkungan namun juga ramah terhadap para pekerjanya. Menyusul adanya sejumlah pengakuan dari lembaga terpercaya yang independen.
“Sekali lagi kami proses ini menjadi sarana untuk memperbaiki iklim Ketenagakerjaan di industri dan perkebunan sawit. Kita sudah melihat itu,” tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono memastikan persoalan ketenagakerjaan masih menjadi amunisi andalan untuk melakukan kampanye hitam terhadap industri kelapa sawit di kancah internasional. Khususnya terkait permasalahan yang menimpa kelompok pekerja perempuan dan anak.
“Jadi, masih banyak isu yang bernuansa kan ketenagakerjaan di sektor sawit yang kemudian menjadi alat untuk kampanye negatif,” ungkapnya dalam webinar bertajuk Perlindungan Pekerja Perempuan di Perkebunan Sawit, Selasa (23/3).
Dia mengungkapkan, sorotan akan persoalan ketenagakerjaan terhadap kelompok perempuan dan anak sendiri pertama kali disorot oleh dunia internasional sejak 2016 lalu. Saat itu, ada salah satu lembaga pemantau hak asasi manusia, Amnesty International yang mengendus adanya kerja paksa yang melibatkan anak-anak di perkebunan sawit.
“Itulah sebenarnya yang muncul 2016 kemudian beberapa isu lainnya muncul belakangan,” terangnya.
Dia menambahkan, persoalan ketenagakerjaan lainnya yang menyedot perhatian internasional adalah pelecehan seksual terhadap pekerja sawit perempuan, yang kemudian kembali digunakan sebagai alat untuk melakukan kampanye negatif terhadap industri sawit. Sebagaimana yang ramai diberitakan kantor media asing pada 2020 lalu.
“Amerika, bahkan sempat melarang sawitnya Malaysia karena dianggap perkebunan kelapa sawit di Malaysia itu melakukan kerja paksa terhadap anak dan pelecehan,” terangnya.[Liputan6.com]