Nukilan.id – Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengklaim terdapat peningkatan risiko korupsi apabila limbah batu bara alias Fly Ash Bottom Ash (FABA) tak dicabut dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
Lili menilai peluang pemanfaatan sebagai bahan baku pada industri konvensional juga minim jika limbah batu bara tak dicabut dari kategori B3.
“Tentu dengan dimasukkannya FABA sebagai limbah B3 dapat meningkatkan risiko korupsi pada tata kelola FABA. Dan kurangi peluang pemanfaatannya secara maksimal sebagai bahan baku pada industri konvensional,” kata Lili dalam webinar yang digelar KPK, Senin (22/3).
Namun, Lili tak menjelaskan secara rinci celah korupsi yang ditimbulkan apabila FABA tak dicabut dalam kategori limbah B3.
Ia hanya menyebut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah dan Bahan Beracun yang memasukan FABA menjadi kategori B3 menimbulkan peningkatan biaya.
Menurutnya, terdapat peningkatan 74 rupiah per KWH pada unsur peningkatan Biaya pokok penyediaan (BPP) PLN pada 2019. Kenaikan ini berakibat pada kenaikan BPP per KWH secara signifikan untuk pembangkit-pembangkit listrik di luar Pulau Jawa.
“Seperti PLTU Labuan Angin di Sumatera sebesar 790,65 rupiah per KWH,” kata dia.
Selain itu, Lili mengatakan memasukkan FABA ke kategori limbah B3 berbeda dengan penerapan di negara-negara lain. Menurutnya, Jepang, Amerika Serikat, Australia, China dan Eropa sudah tak mengategorikan FABA sebagai limbah nonB3.
“Berdasarkan hasil studi literatur, pengkategorian FABA sebagai limbah B3 tidak sesuai dengan praktik di dunia internasional. Di beberapa negara, FABA sudah dikategorikan sebagai limbah nonB3,” ujarnya.
Direktur Monitoring KPK, Agung Yudha Wibowo menilai FABA dapat dimanfaatkan dengan baik untuk banyak industri di Indonesia, seperti industri produksi bahan baku semen, conblock, hingga pupuk.
“Pemanfaatan FABA secara benar dan memenuhi standar internasional akan mendorong perekonomian nasional,” kata Agung.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mencabut limbah batu bara, FABA dari kategori limbah berbahaya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Aktivis lingkungan ramai-ramai mengkritik keputusan Jokowi tersebut. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai aturan tersebut berpotensi memberi ruang pencemaran lingkungan semakin luas [ccnindonesia.com].