Nukilan.id – Angka stunting di Indonesia berada pada level 24 persen dan ditargetkan turun ke angka 14 persen pada 2024. Dari angka tersebut, Provinsi Aceh menjadi salah satu dari tujuh daerah dengan kasus stunting tinggi di Indonesia.
Sekretaris Kantor Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Aceh, Husni Thamrin menyampaikan Aceh saat ini termasuk daerah nomor 3 tertinggi angka stunting di Indonesia. Tentunya, langkah menurunkan angka stunting ini memerlukan aksi kolaborasi dari berbagai pihak mulai pemerintah, akademisi, dunia usaha, hingga pers (media massa).
“Penanganan stunting menjadi tanggung jawab bersama, tidak hanya BKKBN dan Dinas Kesehatan, tapi menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat, termasuk media massa,” jelas Husni pada acara forum koordinasi kehumasan dalam percepatan penanganan stunting yang dilaksanakan Perwakilan BKKBN Aceh, Kamis (10/11/2022).
Selain itu, lanjut Husni, penanganan stunting di daerah yang berjuluk serambi mekkah ini juga harus terintegrasi antar instansi pemerintah. Semua instansi harus bersama-sama menangani sesuai tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
“Misalnya, dinas kesehatan menangani permasalahan gizi dan kesehatan, sementara dinas/instansi lainnya mengurusi ketersediaan air bersih dan sanitasi. Jika hanya kesehaan yang ditangani sedangkan infrastrukturnya air besih dan sanitasi tidak ada, maka potensi stunting tetap terjadi,” jelasnya.
Disisi lain, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Nasir Nurdin mengatakan, isu stunting yang kini masih menjadi tantangan di Indonesia memerlukan jembatan dari media massa untuk menyampaikan pesan, pemikiran, harapan, dan pembelajaran.
Menurutnya, ruang stunting terbuka lebar bagi para wartawan untuk melakukan eksplorasi, mengunjungi wilayah-wilayah yang masih banyak kasus stunting, melakukan berbagai observasi dan riset, hingga pendalaman dengan para ahli maupun pakar.
“Apabila wartawan semakin banyak mengeksplorasi materi stunting dan semakin mendalami isu itu, maka tulisan-tulisan yang dimuat di media massa akan memiliki poin yang tinggi,” ujar Nasir di Aula Kantor Perwakilan BKKBN Aceh.
Menurutnya kolaborasi atau kerja sama dengan media massa menjadi salah satu keniscayaan, terutama dalam menekan angka stunting. Ada banyak peluang kerja sama dengan media massa yang bisa dilakukan.
“Sejatinya, stunting bukan hanya persoalan pemerintah, peneliti, dunia usaha ataupun media, tetapi persoalan kita semua,”
Untuk itu, Nasir berharap semua ikhtiar yang dilakukan akan membuahkan hasil maksimal seperti yang diimpikan, lahirnya generasi bebas stunting, generasi berkualitas untuk Aceh dan Indonesia.
Untuk diketahui, Aceh menjadi salah satu dari tujuh daerah dengan kasus stunting tinggi di Indonesia. Saat ini ada 13 daerah di Aceh yang masuk kategori merah untuk kasus stunting.
Mengutip laporan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), pada 2021 di Aceh rata-rata terdapat 33,2% anak usia di bawah lima tahun (balita) yang mengalami stunting. Artinya, kira-kira 1 dari 3 balita di Provinsi Aceh memiliki tinggi badan di bawah rata-rata anak seusianya.
Terdapat 3 wilayah di Aceh dengan prevalensi balita stunting tertinggi hingga mencapai kisaran 40%. Ketiga wilayah itu adalah Kabupaten Gayo Lues (42,9%), Kota Subulussalam (41,8%), dan Kabupaten Bener Meriah (40%). Sedangkan Kota Banda Aceh tercatat sebagai wilayah dengan prevalensi balita stunting terendah yakni 23,4%. [Wanda]