Nukilan.id – Gunung Gamalama yang berada di Pulau Ternate, Kepulauan Maluku, merupakan sebuah gunung stratovolcano kerucut dengan ketinggian 1.715 meter di atas permukaan laut dan ditutupi Hutan Montane pada ketinggian 1.200-1.500 meter dan Hutan Ericaceous pada ketinggian di atas 1.500 meter.
Gunung tersebut sudah lebih dari 60 kali meletus sejak pertama kali tercatat tahun 1538. Pada 1673, Gunung Gamalama kembali meletus dan mengakibatkan bencana dahsyat, serta menyebabkan perubahan kontur wilayah Ternate. Saat ini, sisa-sisa letusan itu masih dapat dilihat dan menjadi salah satu objek wisata Ternate yang dikenal dengan nama Batu Angus.
Mengingat potensinya yang besar, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pun mendukung pengembangan Batu Angus menjadi bagian dari Taman Bumi atau Geopark nasional. Batu Angus merupakan fenomena geologi yang menarik bagi wisatawan untuk belajar dan berkunjung ke Kota Rempah.
Daya tarik Batu Angus
Batu Angus pada dasarnya merupakan tumpukan bebatuan dari lahar beku yang mengarah ke laut. Lokasi yang saat ini menjadi objek wisata dulunya merupakan lokasi aliran lahar Gunung Gamalama saat meletus dan membuat banyak bebatuan yang terdampar di sana berwarna hitam, tampak seperti hangus. Lahar-lahar yang mengalir dari puncak gunung di masa lalu kini telah mengering dan menjadi bebatuan besar berwarna hitam yang tersebar sampai ke tepian tebing pesisir laut.
Sebenarnya, fenomena alam lelehan lava ini sudah mulai terjadi sejak tahun 1737, kemudian membentuk Batu Angus di Kulaba. Pada tahun 1763 membentuk Batu Angus di Tubo Tugurara dan tahun 1907 membentuk Batu Angus di antara bagian belakang Bandara Sultan Babullah hingga Tarau di Kecamatan Ternate Utara.
Saat ini, bebatuan tersebut tidak lagi berbahaya, malah menjadi berkah bagi masyarakat setempat. Apalagi pemerintah juga terus memperbaiki tempat tersebut agar menjadi objek wisata dengan konsep taman dan batu hasil lahar Gamalama sebagai objek utama.
Wisata Batu Angus berada di atas lahan seluas 40 hektare dan membentang dari kaki gunung hingga ke bibir pantai. Lokasi ini menjadi bukti nyata dahsyatnya amukan gunung tersebut pada 1673. Untuk lokasinya ada di ruas jalan lingkar Ternate dan jaraknya hanya 10 kilometer dari pusat kota.
Wisawatan yang mengunjungi Batu Angus pun tak terbatas dari turis lokal, tapi juga wisatawan mancanegara. Bahkan, Batu Angus jadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika liburan ke Ternate karena keunikan fenomena alam seperti ini tak ditemukan di daerah lain.
Menurut kabar yang beredar, bebatuan yang ada di sana mirip dengan batuan penyusun candi di Pulau Jawa. Batuan tersebut memiliki kepadatan tinggi, bentuknya tak beraturan serta bertekstur kasar. Dari Batu Angus, pengunjung juga dapat menyaksikan kemegahan Gunung Gamalama dan di sisi lain pemandangannya langsung ke arah laut.
Pengembangan Batu Angus menjadi Geopark nasional
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno mendukung pengembangan Batu Angus menjadi bagian dari Geopark nasional.
“Wilayah ini menyuguhkan keunikan bongkahan batuan hitam bekas aliran lava Gunung Gamalama. Tidak perlu banyak mengeluarkan biaya, karena Allah SWT sudah menghadirkan suatu fenomena alam yang luar biasa dan saya mendukung aspirasi geopark Ternate menjadi geopark nasional,” katanya.
Menyoal pengembangan geopark, pihak Kemenparekraf telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 2 tahun 2020 tentang pedoman teknis pengembangan geopark sebagai destinasi wisata. Dengan adanya peraturan tersebut maka diharapkan dapat menjadi acuan untuk pemenuhan prinsip-prinsip pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan, tentunya guna membangun geopark yang memiliki daya saing dan berkelas dunia.
“Saya juga ingin memberikan nasihat, bahwa geopark itu bukan hanya secarik kertas. Tapi tujuannya luhur untuk kelestarian lingkungan, konservasi, edukasi, dan ujungnya kesejahteraan masyarakat. Percuma ada geopark kalau masyarakatnya tidak sejahtera,” kata Sandiaga.
Untuk pengembangan Batu Angus ini juga akan melibatkan UMKM dan destinasi wisata alam lain yang terintegrasi dan terimplementasi dengan baik. “Menurut standar UNESCO, pengembangan geopark wajib mengedepankan konservasi dan edukasi serta mengedepankan prinsip ekonomi dan budaya setempat, termasuk flora fauna endemik di dalamnya,” jelasnya. [GNFI]