Nukilan.id – Suatu malam pada medio Juni 1948, Presiden Soekarno menggelar pertemuan dengan tokoh Aceh di sebuah hotel di Banda Aceh. Dalam pertemuan itu, Bung Karno menantang masyarakat Tanah Rencong untuk urunan dana pembelian pesawat terbang.
Pertemuan digelar di Hotel Aceh itu dihadiri tokoh pejuang, pengusaha serta pemuda. Bung Karno lalu mencetuskan ide pembelian pesawat serta menantang jiwa patriotisme masyarakat Tanah Rencong untuk meneruskan dan melestarikan perjuangan kemerdekaan.
Dikutip detikSumut, Senin (6/6/2022) dari buku Aceh Daerah Modal karya Tgk. A. K Jakobi, Bung Karno berharap ketika makan di malam itu terkumpul sejumlah dana agar dapat membeli satu unit pesawat. Bung Karno juga sempat berseloroh.
“Saya tidak makan malam ini, kalau dana untuk itu belum terkumpul,” kata Bung Karno seraya tersenyum seperti ditulis Tgk. A.K Jakobi dalam bukunya.
Para pengusaha serta tokoh-tokoh perjuangan saling melirik ketika mendengar pernyataan Bung Karno. Mereka ingin tahu siapa yang akan memulai menyumbang.
Ketua Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) M. Djuned Joesoef menjadi orang pertama yang menyumbang. Setelah dia, pengusaha lain menyusul.
Malam itu juga terkumpul dana dalam jumlah cukup besar. Bung Karno kembali tersenyum melihat antusiasme pengusaha Aceh. Presiden pertama Indonesia itu kemudian mengajak tamu undangan semua untuk beranjak ke meja makan.
Selain dari para pengusaha, dana untuk beli pesawat itu juga dikumpul oleh masyarakat. Warga Tanah Rencong bersemangat ikut patungan setelah mendengar pidato dari Gubernur Aceh dan Gubernur Militer waktu itu, Abu Daud Beureueh.
Tak lama berselang, total dana terkumpul yaitu 120.000 dolar Malaysia serta 20 kilogram emas. Uang itu cukup untuk membeli dua pesawat jenis Dakota yang diberi nama Seulawah RI-001.
Bung Karno memilih nama itu sebagai penghormatan untuk masyarakat Aceh yang secara ikhlas dan tulus memberikan sumbangan yang berharga ketika situasi sulit untuk bangsa yang sedang berjuang. Pesawat itu juga tanda kesetiaan masyarakat Tanah Rencong terhadap NKRI.
Jakobi menulis, pesawat Seulawah RI-001 tiba di Indonesia pada akhir Oktober 1948. Kala itu, situasi tanah air sedang mengalami kepungan politik blokade ekonomi dan militer dari pihak Belanda.
Pesawat perintis yang menjadi kekuatan pertama armada TNI-AU itu beberapa kali berhasil melewati blokade Belanda. Pesawat tersebut dipakai untuk membawa senjata, obat-obatan serta mesiu.
“Pesawat Seulawah RI-001 yang berhasil dengan misinya itu adalah cikal-bakal pesawat Garuda pertama yang dikomersilkan. Pesawat itu kembali dari Rangoon sekitar akhir Juli 1949 dan masih dioperasikan sampai setahun kemudian,” tulis Jakobi.
Seorang saksi sejarah, Nyak Sandang (91) berkisah tentang urunan dana untuk pembelian pesawat pertama. Kala itu Abu Daud Beureueh berkunjung ke Aceh Jaya dan berpidato di halaman masjid di Calang, Aceh Jaya, Aceh. Semua masyarakat dengan suka cita datang ke lokasi untuk mendengar pidato orang nomor satu di Tanah Rencong.
Dalam pidatonya yang menggebu-gebu, Daud membakar semangat warga dan mengungkapkan Indonesia merupakan negara milik rakyat. Daud menyampaikan pasca kemerdekaan, Indonesia membutuhkan pesawat agar mudah berhubungan dengan negara luar. Pasalnya, negara yang merdeka dari penjajah pada 1945 ini termasuk negara kaya raya. Hubungan dengan luar negeri sangat diperlukan.
Kakek Sandang masih ingat betul ketika dirinya menghadiri ceramah tersebut. Pada awal pidato, Daud mengungkapkan pertemuan Presiden Soekarno dengan dirinya di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh. Usai pidato, seluruh ulama di Aceh Jaya dikumpulkan. Daud Beureueh bermusyawarah dengan ulama cara mengumpulkan uang untuk membeli pesawat.
“Di sini ada satu ulama yang sangat terkenal yaitu Abu Sabang (Muhammad Idarus). Warga di sini, semua dengar apa yang dibilang sama Abu Sabang. Kalau Abu bilang kita kumpulkan uang untuk beli pesawat, semua ikut menyumbang,” kata Sandang saat ditemui di rumahnya di Desa Lhuet, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya, Aceh, Selasa (6/7/2018).
Masyarakat terharu kala itu dengan ajakan membeli pesawat. Soalnya, sekitar tiga tahun pascakemerdekaan, masyarakat berusia 18 hingga 70 tahun di Aceh Jaya baru keluar dari penjara. Mereka rata-rata menjadi tawanan Belanda karena tidak membayar pajak sebesar Rp 7,5 rupiah per tahun.
Kala itu, semua masyarakat di sana, tanpa kecuali sepakat untuk menyumbang. Ini juga bagian euforia menyambut kemerdekaan. Kakek Sandang dan ayahnya kemudian menjual sepetak tanah seharga Rp 100.
“Tanah itu sejatinya laku dijual Rp 200 namun dia menjual buru-buru agar segera mempunyai uang. Setelah uang dikantongi, baru diserahkan pada satu orang yang ditunjuk,” ujar Kakek Sandang.
“Waktu itu saya bantu negara yang sudah kita pegang. Ini satu kebanggaan bagi saya bisa bantu negara. Saya ikhlas membantu. Tidak mengharap apa-apa. Kami waktu itu membantu tanpa adanya paksaan,” jelasnya. [Detik]