Nukilan.id – Penyelenggaraan Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) di Bali 23 – 28 Mei 2022 telah usia. GPDRR merupakan forum yang diadakan oleh PBB untuk meninjau kemajuan, berbagi pengetahuan, dan mendiskusikan perkembangan terbaru dalam upaya pengurangan risiko bencana.
GPDRR 2022 mengangkat tema utama yaitu “From Risk to Resilience: Towards Sustainable Development for All in a COVID-19 Transformed World” atau “Dari Risiko ke Ketahanan: Menuju Pembangunan Berkelanjutan untuk Semua di Dunia yang Berubah oleh COVID-19.”
Acara yang diadakan setiap dua tahun sekali ini juga mengelaborasi beberapa tema seperti Disaster Risk Governance, Covid-19 Recovery, DRR Financing, Sendai Framework Stocktaking, Leave No One Behind, serta SDGS and Climate Action.
Dalam pelaksanaannya, ada banyak kearifan lokal yang ditampilkan untuk berbagi pengalaman dalam menghadapi bencana. Salah satunya adalah kesenian nandong atau nanga-nanga dari Kabupaten Simeulue, Aceh.
Kabupaten Simeulue terletak di tengah Samudera Indonesia dan bagian barat Sumatra yang sudah didatangi imigran sejak zaman dahulu. Kondisi tersebut juga yang mendorong keragaman budaya di sana, termasuk nandong yang merupakan perpaduan kebudayaan Minangkabau dan Simeulue.
Bagi para orang tua di Simeulue, mengajarkan anak dan cucunya nandong merupakan hal yang umum dilakukan. Anak-anak diajarkan untuk melihat gejala bencana alam dengan bernandong atau bersenandung, sebuah kesenian berwujud syair yang berisi penjelasan mengenai ciri-ciri gejala bencana alam, mulai dari guncangan air kuat, air yang tiba-tiba surut, dan gelombang besar.
Meski masyarakat Simeulue tinggal di kawasan pesisir, tetapi justru tercatat sebagai wilayah dengan jumlah korban jiwa paling sedikit dalam peristiwa gempa dan tsunami yang menerjang pantai barat Aceh dan Sumatera Utara pada 26 Desember 2004 lalu. Diketahui dari total 78 ribu penduduk, jumlah korban jiwa hanya tujuh orang.
Sedikitnya jumlah korban jiwa pada peristiwa tsunami tersebut diyakini karena masyarakat Simeulue masih mempraktikkan nandong.
Akademisi Gustaff H Iskandar berpendapat bahwa banyak masyarakat di Simeulue selamat dari bencana alam karena selalu teringat nasihat tentang smong. Smong atau semong merupakan istilah dari bahasa Devayan, bahasa asli masyarakat Simeulue untuk menyebut sebuah gelombang laut besar yang melanda setelah gempa bumi, atau yang dikenal dengan tsunami.
“Pengetahuan kolektif yang justru penting untuk meningkatkan daya tahan kita dalam mengantisipasi bencana di masa depan,” kata Gustaff.
Sementara itu, sebagai salah satu korban selamat dari tsunami di Aceh, Yoppi Andri kini aktif memperkenalkan nandong sebagai salah satu praktik dalam mengurangi risiko bencana. Seniman asal Simeulue ini berkeliling ke daerah-daerah rawan bencana di Indonesia, bahkan ke Australia untuk memperkenalkan nandong.
“Nandong itu ada juga pesan-pesan moral dan lain-lain, seperti romantika kehidupan dan percintaan. Tapi Nandong ini yang menyelamatkan kami dari bencana tsunami beberapa tahun lalu,” jelas Yoppi.
Nandong, penyelamat masyarakat dari tsunami
Masyarakat Simeulue telah mengenal tsunami sejak beberapa abad silam. Daerahnya juga pernah terkena gelombang tsunami pada tahun 1907 di daerah Salur, Kecamatan Teupah Selatan. Sementara nandong pertama kali ditemukan pada abad ke-16 dan terus diturunkan antara generasi agar cermat dalam membaca tanda-tanda dari alam.
Meski tak memiliki teknologi peringatan dini untuk tsunami, masyarakat Simeulue mampu membaca tanda-tanda alam dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun ini dapat menghindari mereka dari banyaknya korban ketika bencana.
Bagi masyarakat Simeulue, nandong merupakan media dalam mengungkapkan perasaan. Sebagai salah satu seni tutur melalui lantunan syair atau pantun, nandong berisi pesan moral dan nasihat.
“Nandong ini adalah kesenian yang turun temurun dari nenek moyang kita zaman dahulu. Jadi nandong ini suatu mengisahkan tentang kehidupan manusia yaitu tentang nasihat-nasihat kejadian-kejadian yang lampau dan kejadian saat sekarang dan juga yang akan datang dimasa depan,” jelas Juman, seorang pelaku kesenian nandong.
Menurut penjelasan Juman, nandong berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari. Nandong juga merupakan media atau pesan. “Jadi maksudnya kalau ada suatu kejadian itu, sudah dikabarkan melalui nandong ini, artinya mengingat masa lalu dan menjalankan masa sekarang dan masa depan,” ujarnya.
Seni nandong biasa dipentaskan 3-5 orang dengan diiringi alat musik berupa gendang dan biola, tak lupa pembawa syair. Namun, nandong juga biasa dibawakan seorang diri, misalnya ketika memancing, mendayung perahu, atau bekerja di sawah.
Untuk mengawali nandong, akan dimulai dengan seuramo gendang, kemudian masuk ke tingkatan syair pantun, serak, samba, rantau, kasih, dan izin. Umumnya musik nandong bernada lirih dan para penyanyi melantunkan syari dengan suara lirih, menjerit, dan meratap.
Ede smong kahanne (itulah smong namanya)
Turiang da nenekta (sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere (ingatlah ini betul-betul)
Pesan dan navi da (pesan dan nasihatnya)
Enggel mon sao surito (Dengarlah sebuah cerita)
Inang maso semonan (Pada zaman dahulu)
Manoknop sao fano (Tenggelam satu desa)
Uwi lah da sesewan (Begitulah mereka ceritakan)
Unen ne alek linon (Diawali oleh gempa)
Fesang bakat ne mali (Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop sao hampong (Tenggelam seluruh negeri)
Tibo-tibo mawi (Tiba-tiba saja)
Kesenian nandong sering dipentaskan dalam acara syukuran, sunatan, pernikahan, hingga pesta rakyat. Nandong diharapkan dapat berfungsi sebagai media yang menyampaikan isyarat, pendidikan, dan pencatat sejarah yang terus diturunkan pada setiap generasi. Nandong juga telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada tahun 2016 .
“Ini mengisyaratkan penyebaran riwayat kejadian besar seperti tsunami yang pernah terjadi di kampung kami, melalui nandong sangat efektif untuk mengingat masyarakat akan kearifan luhur yang diberikan oleh nenek moyang kami” tuturnya. [GNFI]