Nukilan.id – Hutan Leuser merupakan salah satu bukti adanya pengetahuan masyarakat zaman dahulu mengelola alam lingkungannya. Bahkan pada masa lalu masyarakat sekitar sangat menjunjung tinggi hubungan baik dengan alamnya.
Ada beragam aturan-aturan dan pantangan-pantangan yang harus dijaga baik dengan alam sekitar. Misalnya di Taman Nasional Gunung Leuser oleh orang Kluet disebut sebagai warisan dari para leluhur.
Kondisi ini tidak jauh berbeda terhadap perlakuan masyarakat akan keberadaan harimau dan beberapa hewan liar lainnya. Masyarakat percaya bila mendengar suara harimau sebagai sebuah tanda akan terjadi sesuatu.
“Suara auman dianggap sebagai penyampai pesan yang diwanti-wanti. Apakah pesan baik atau buruk,” jelas Kasumah dalam artikel berjudul Eksotisme Harimau dalam Budaya Kluet.
Kasumah menyebut pengetahuan tentang lingkungan ada yang diajarkan oleh orang tua mereka atau dengan pengalaman sendiri berinteraksi dengan alam. Karena itulah terciptalah budaya yang luhur yang mengalir dalam setiap sendi pemilik kebudayaan itu.
Hal ini, jelasnya, terlihat dalam bentuk penghormatan terhadap harimau yang diwariskan oleh nenek moyang orang Kluet. Leluhur mereka tidak menjadikan harimau sebagai hewan peliharaan semata, tetapi kepada hubungan sebagai sahabat yang diwariskan.
Harimau dan orang Kluet memang memiliki hubungan saling membutuhkan. Misalnya, masyarakat sekitar yang memelihara harimau untuk memberantas babi hutan yang dianggap sebagai hama pertanian.
Tingkah laku harimau yang mirip dengan kucing yaitu menandai wilayahnya dengan air kencing. Hal ini, jelasnya, perlu dimanfaatkan oleh orang dahulu untuk menyelamatkan kebunnya dari babi hutan.
Menurut Kasumah, orang Kluet percaya ketika harimau sudah ada di kebunnya, maka seorang dirinya tak perlu lagi khawatir akan ada babi yang masuk. Keberadaanya mampu mencegah babi setidaknya selama lima belas hari bila dirinya tak kembali ke kebun.
Selain itu, orang Kluet percaya harimau akan memberikan pertanda-pertanda dengan auman bila akan ada bencana. Lain lagi, bila harimau turun ke sungai, warga juga akan berbondong-bondong masuk ke sungai untuk menangkap ikan.
“Karena rasa timbal balik ini, masyarakat merasa senang dengan keberadaannya harimau. Sebuah kisah yang tampak seperti dongeng belaka bagi orang yang tak mau tahu,” ujarnya.
Kekuatan mitos dalam pelestarian satwa liar
Kasumah menyebut warga Kluet memiliki cerita tentang harimau yang dikeramatkan oleh banyak orang. Zaman dahulu, ada seorang anak yang tengah melakukan pertapaan di dalam gunung yang jauh dari pemukiman penduduk.
Anak itu melakukan pertapaannya selama empat puluh hari empat puluh malam, selama itu dia hanya memakan berteh (sebutan untuk padi kering yang telah di gongseng). Memang saat melakukan pertapaan seseorang harus mengurangi nafsu makan.
Orang tua anak itu mengetahui anaknya dalam posisi menahan lapar. Sehingga mereka melakukan upacara khenduri yang dilakukan oleh seorang tengku yang alim. Segala macam makanan disajikan di tengah-tengah itu, mulai dari ayam, nasi, dan buah-buahan.
Benar saja, makanan tadi kemudian sampai kepada si anak, dan dirinya makan dengan lahap tanpa adanya keraguan. Selain makanan, ternyata anak itu diberikan seekor harimau yang disebut Rimueng Aulia untuk dibawa pulang ke rumah bersama dengannya.
“Sebutan Rimueng Aulia karena dia adalah pemberian dari seorang aulia yang diyakini sebagai penjaga hutan. Rimueng Aulia ini sangat setia kepada tuannya, kemana pun pergi dia akan menjaga dan mengikutinya,” jelasnya.
Walau begitu, jelasnya Kasumah, tidak mudah menjaga dan merawat Rimeung Aulia. Penjaganya harus jujur, tidak boleh mengambil milik orang lain, mengumpat orang lain, dan segala perbuatan buruk tidak boleh dilakukan.
Menurut Kasumah ada konsekuensi bila melanggar aturan ini, maka keselamatan pemilik harimau akan dalam bahaya. Bahkan harimau yang diwariskan turun temurun oleh leluhur itu akan meninggalkannya untuk selamanya.
Selain Rimueng Aulia, ada juga kepercayaan terhadap harimau dayo yang dipercaya sebagai seseorang yang telah menjelma menjadi seekor harimau yang memiliki ilmu kebatinan yang tinggi.
Di Kluet tengah misalnya, pada masa itu ada satu keluarga yang merupakan keturunan dari harimau dayo ini dan apabila dia mati kemudian menggunakan jeruk purut, dipercaya kulitnya kemudian berubah menjadi harimau.
Dari kisah yang pernah diceritakan oleh orang tua mereka, menurut Kasumah menjadi pelajaran hidup bagi orang Kluet. Mereka tidak boleh sembarangan melakukan sesuatu yang berbahaya bagi dirinya dan orang lain.
“Terutama dalam hal berhubungan dengan harimau, orang Kluet masa lalu sangat menghormati keberadaan si “Muan” (harimau) sebagai penjaga hutan,” bebernya.
Menjadi budaya
Ada juga budaya yang kini telah lama dilupakan oleh sebagian orang Kluet yang berhubungan dengan harimau yaitu tarian Londok Begu. Sebuah tarian yang merepresentasikan hubungan manusia dengan hewan yang dikenal buas.
Pada masyarakat, tarian ini merupakan sebuah tarian yang memiliki kesakralan yang cukup tinggi. Landok berarti tarian sedangkan Begu berarti harimau, sehingga Landok Begu memiliki arti Tarian Harimau.
Landok Begu merupakan sebuah tarian yang menirukan gerakan harimau, di mana di dalam tarian ini terciptanya suasana yang mencekam karena perselisihan antara manusia dan harimau.
Dijelaskan tari ini menceritakan tentang gambaran zaman dahulu yang mana masyarakat mencari nafkah di dalam hutan. Saat itu masyarakat sering bertemu dengan harimau, sehingga dalam tari ini juga menggunakan gerak silat untuk melindungi diri.
“Gerak Landok Begu merupakan gerakan imitasi dari gerakan harimau yang gesit, lincah, dan tangkas,” ucap Kasumah.
Kostum yang digunakan dalam tarian ini menyerupai kulit harimau yang terdiri dari empat pemain laki-laki. Gerakannya berupa salam pembuka, silat, salam main, harimau bertengkar, harimau menyerang dan salam penutup. Sementara musik iringannya berupa sebuah gong besar, dua buah gendang, dan dua buah canang.
Disebutkan oleh Kasumah, tarian Landok Begu adalah upaya masyarakat untuk menghindari terhadap serangan harimau. Serangan dari harimau dianggap sebagai bala, sehingga dilakukan tiap tahun saat pelaksanaan tulak balo (tolak bencana).
Tarian ini dicatat oleh Kasumah pertama kali dibawakan oleh Enyak Wali dan Abdul Gani antara tahun 1950 an. Ketika ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tarian ini sempat meredup dan mulai kembali ketika hubungan Indonesia dengan Aceh sudah menemui titik terang.
Kasuma menyebut awalnya tari ini dilakukan saat musim tulak balo, namun seiring berjalannya waktu, digunakan juga dalam upacara kelahiran atau pernikahan adat. Tarian ini diartikan harapan bahwa harimau tidak akan mengganggu ketentraman masyarakat. [GNFI]