Mengenal Elang Flores, Raptor Lindung dari NTT

Share

Nukilan.id – Elang merupakan salah satu jenis raptor atau burung pemangsa dengan status puncak pada ekosistem dan rantai makanan tertentu. Mengutip penjelasan Indonesia.go.id, setidaknya ada sekitar 71 spesies burung raptor di Indonesia. Dari puluhan spesies tersebut, 10 di antaranya bersifat endemik.

Adapun salah satu burung berstatus endemik yang dimaksud adalah elang flores, dengan nama latin Nisaetus floris. Masuk dalam kategori hewan terancam punah di dunia, IUCN mencatat jika pada tahun 2019 populasi burung ini di alam bebas diperkirakan hanya tersisa 200 individu.

Sumber lain menyebut, populasi elang flores di habitat asli mereka yaitu Pulau Flores dan sekitarnya hanya tersisa sekitar 10 individu. Namun belum lama ini setidaknya, kondisi memprihatinkan tersebut sedikit mendapat secercah harapan setelah dilaporkan adanya kelahiran anak elang flores jantan pada pertengahan bulan Maret lalu.

Sedikit mengenal lebih detail mengenai karakter dan morfologi elang flores sebelum membahas mengenai kelahiran individu yang menjadi harapan baru bagi spesiesnya, raptor satu ini termasuk dalam kategori burung berukuran besar yang dapat tumbuh dengan panjang hingga 71-82 sentimeter.

Mengutip Greeners, sebelumnya burung ini sempat dianggap sebagai spesies yang berkerabat dekat dan nyaris serupa dengan ras Elang Brontok (Nisaetus cirrhatus). Namun setelah diteliti lebih jauh, keduanya ternyata memiliki morfologi yang berbeda.

Dilihat dari tampilannya, elang flores memiliki bulu berwarna coklat kehitaman pada bagian atas tubuhnya. Namun pada bagian dada dan perut, bulu mereka nampak berwarna putih dengan corak garis tipis berwarna cokelat kemerahan.

Selain spesifik di Flores, elang ini juga kerap ditemui di wilayah Timur Indonesia lainnya seperti Pulau Sumbawa hingga Lombok. Meski masih perlu dilakukan verifikasi lebih lanjut, ada beberapa sumber yang menyebut jika spesies elang flores kerap ditemukan berada di wilayah Palu dan Pulau Komodo.

Menurut sejumlah peneliti, elang Flores menyenangi habitat di hutan hujan dataran rendah, namun ada juga yang kerap menjumpai burung ini di area hutan dekat kaki gunung. Atau secara spesifik, burung ini disebut biasa tinggal pada habitat yang berada di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, dan kerap terbang dekat area hutan utuh serta sepanjang sisi lereng gunung.

Biasanya elang flores memangsa kawanan burung yang lebih kecil, kadal, ular, dan mamalia lainnya. Keberadaan burung satu ini dipandang sebagai spesies kunci yang dapat menjaga keseimbangan ekosistem sekitar.

Elang Flores dianggap suci

Yang menarik bagi masyarakat Suku Manggarai di Flore, elang ini memiliki sederet nama lokal sendiri mulai dari Ntangis, Toem, atau Empo. Bagi mereka, burung ini dinilai suci karena berhubungan erat dengan adat-istiadat setempat. Bahkan, masyarakat terentu memiliki larangan untuk menangkap, membunuh, atau menyiksa elang flores karena dianggap sebagai leluhur manusia.

Meski begitu, kepercayaan adat masyarakat lokal rupanya tidak cukup menjaga kelestarian penguasa langit wilayah Flores ini. Elang flores nyatanya merupakan salah satu burung raptor endemik Indonesia yang berada di status terancam punah (critically endangered).

Meski bagi suku Manggarai elang flores dianggap sebagai leluhur, namun bagi masyarakat lainnya hewan ini dianggap hama karena sering memakan unggas peliharaan. Padahal, elang yang kerap melakukan kebiasaan tersebut adalah elang bondol.

Akibat salah sangka dan ketidakpahaman perbedaan spesies, tak heran jika populasi elang flores terkena dampak dan menjadi terancam. Hal tersebut lantaran banyak masyarakat yang akhirnya memburu satwa ini secara massal.

Menurut data Pemerintah Daerah Kabupaten Ende pada April 2019, populasi Elang Flores di kawasan Kelimutu hanya tersisa 10 ekor.

Harapan baru penguasa langit flores

Seakan membawa angin segar, harapan mengenai akan adanya penerus generasi baru dari elang flores muncul ketika Balai Taman Nasional (BTN) Tambora, mengumumkan kabar mengenai hadirnya anak elang flores jantan yang menetas dari telur hasil sepasang induk yang terdeteksi di titik Karyasari.

Adapun pasangan induk dari elang Flores tersebut diketahui sudah terlihat sejak bulan Oktober 2021. Berdasarkan pemantauan aktivitas oleh obersver yang berada di kawasan TN Tambora, ternyata telur yang diyakini menjadi cikal bakal kemunculan individu baru tersebut sudah terlihat di sarang mereka sejak tanggal 19 Februari 2022.

Selanjutnya tepat mulai tanggal 5 Maret, terpantau aktivitas induk Elang Flores betina nampak banyak mengeram di sarang. Sedangkan elang jantan terlihat mengawasi lingkungan sekitar. Kemudian pada 17 Maret, induk betina kembali terpantau mulai mengalami perubahan warna bulu dada dan sibuk mengumpulkan makanan.

Baru pada 26 Maret, pengemat di TN Tambora disebut menangkap visual seekor anak elang flores yang sudah menetas di sarang, yang diperkirakan sudah berusia 1-2 minggu. Selanjutnya, anak elang flores tersebut diumumkan ke publik dengan nama Febri, lantaran kemunculan telurnya yang pertama kali terdeteksi di bulan Februari.

Mendapat banyak respons antusias oleh sejumlah pencinta alam dan pemerhati lingkungan, kelahiran Febri diharapkan dapat menjadi harapan baru akan bertambahnya populasi raptor yang berkuasa di langit flores tersebut.

“Kelahiran anak Elang flores yang diberi nama “Febri” ini merupakan salah satu pencapaian yang luar biasa dari usaha pelestarian salah satu satwa terancam punah ini. Semoga keberadaan salah satu jenis raptor yang menyandang kategori terancam punah atau critically endangered ini semakin terjaga dan bertambah populasinya.” tulis pihak TN Tambora, melalui pengumuman di akun instagram resmi mereka. [GNFI]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News