Pj Gubernur Aceh dari Sipil atau Militer Tergantung Presiden, Jangan Memaksakan Kehendak
Nukilan.id – Munculnya polemik tolak tarik terkait calon Pejabat (Pj) Gubernur Aceh yang tepat akhir-akhir ini, baik dikalangan sipil atau militer, orang Aceh atau dari luar semakin menarik. Dan adanya perdebatan di media-media terkait hal tersebut tentu hanya sebatas narasi dan bahkan terkesan memaksakan kehendak.
“Sebenarnya jika bicara dari sipil atau militer, kita harus mendukung pernyataan Presiden pada 19 Januari 2022 silam yang menegaskan bahwa Pejabat TNI-Polri aktif tidak mungkin menjadi penjabat Kepala Daerah tingkat I (Gubernur), Undang-undang nya tidak memungkinkan,” kata Sekretaris Umum PW SEMMI Aceh, Muhammad Hasbar kepada Nukilan.id, Rabu (6/04/2022).
Menurutnya, tentu masih ada peluang TNI Polri aktif untuk menjabat dengan cara dinon-aktifkan, namun kemungkinan itu relatif kecil dan kesannya terlalu memaksakan kehendak sehingga mengabaikan kebijaksanaan yang telah dibuat oleh Presiden.
Pada dasarnya, kata Hasbar, tidak ada istilah dikotomi sipil dan militer, hanya saja kebijakan dan kebijaksanaan Presiden tentunya harus di dukung secara seksama tanpa terkecuali untuk Aceh.
“Justeru karena kondisi keamanan Aceh sekarang baik-baik saja, maka tidak ada keharusan dikhususkan untuk Aceh harus dari militer, bahkan jika melihat dari kondisi sebelumnya pasca damai, pihak sipil yang ditunjuk sebagai Pj Gubernur Aceh seperti Dr Mustafa Abu Bakar dan Ir Tarmizi Karim juga mampu membuat stabilitas keamanan Aceh tetap aman dan kedamaian Aceh dirawat,” ungkapnya.
Jadi, bukan persoalan dikotomi dam bukan pula keharusan dari militer yang dipaksakan, sementara kebijaksanaan presiden sudah sangat jelas. Tentunya karena Aceh bukan daerah darurat militer, sah-sah saja jika Presiden menunjuk Pj Gubernur dari kalangan sipil, namun juga alangkah lebih bijaksananya jika dari kalangan sipil yang memiliki kemampuan manajemen konflik, sehingga benih-benih konflik pun dapat terminimalisir,” Sebut Hasbar.
Pada dasarnya, Hasbar berpandangan sipil atau militer tidak ada jaminan akan berdampak signifikan terhadap ekonomi Aceh, kecuali Pj Gubernur yang ditunjuk memiliki visi, konsep dan mengerti kondisi riil masyarakat Aceh.
“Memang tidak ada keharusan Pj Gubernur Aceh harus orang Aceh, namun alangkah lebih bijaknya jika ada orang Aceh, karena tentunya lebih memahami kondisi riil Aceh, apalagi jika sosok tersebut orang lapangan yang mengerti kondisi dan memiliki visi untuk membangun sektor ekonomi Aceh. Jika yang diamanahkan presiden untuk Pj Gubernur adalah orang Aceh yang tepat, itu akan jadi bonus tersendiri bagi masyarakat Aceh dari presiden,” uca Hasbar.
Menurut Kuba, adanya upaya lobi-lobi untuk orang luar Aceh atau lobi agar kalangan militer maupun sipil itu sah-sah saja, namun juga kalau terlalu berlebihan memaksa pihak luar itu juga tak elok.
“Aceh punya banyak tokoh yang mampu mengemban amanah untuk perpanjangan tangan presiden di Aceh. Kita yakin dan percaya, Pak presiden Jokowi yang pernah lama tinggal di Aceh paham betul siapa sosok yang dibutuhkan dan tepat bagi masyarakat AcehAceh,” kata Hasbar.
Oleh karena itu, bisa saja presiden dengan kebijaksanaannya memberikan bonus kepada masyarakat Aceh menunjuk sosok yang berasal dari sipil, orang Aceh yang memahami betul pengelolaan/manajemen konflik, lahir bahkan day to day di Aceh sehingga memahami karakter masyarakat Aceh dan memiliki visi serta konsep untuk membangun ekonomi Aceh.
“Intinya, semua kebijakan dan kebijaksanaan presiden tentunya kita harapkan yang terbaik, dan beliau pastinya sangat paham tentang Aceh yang merupakan kampung halaman keduanya,” tuturnya.