Nukilan.id – Kurang dari seminggu lagi Ramadan tiba. Jika melihat ketetapan yang tertera di kalender masehi tahun 2022, momen istimewa tersebut akan dimulai pada hari Sabtu (2/4/2022).
Sebenarnya tanggal pasti mengenai awal dari bulan ke-9 kalender Hijriah itu masih akan menunggu keputusan resmi dari pemerintah, lewat sidang isbat yang rencananya akan dilaksanakan pada hari Jumat (1/4).
Meski begitu, rasa antusias yang hadir dalam menyambut bulan Ramadan setiap tahun sejatinya selalu sama besar, dan tak pernah berubah. Apalagi jika bicara mengenai tradisi yang tak pernah absen dilakukan masyarakat dalam menyambut momen istimewa satu ini.
Sebagai negara yang kaya akan budaya, Ramadan juga menjadi salah satu momen yang rupanya kerap disambut dengan sebuah tradisi khusus dari setiap masyarakat di masing-masing wilayah. Sebut saja tradisi munggahan bagi masyarakat Jawa Barat, meugang dari Aceh, padusan dari Boyolali, dan masih banyak lagi.
Selain itu, tradisi menyambut Ramadan juga masih dilakukan oleh beberapa masyarakat adat yang memegang teguh nilai leluhur, salah satunya masyarakat adat Bonokeling yang berada di Banyumas, Jawa Tengah.
Tradisi antara masyarakat Desa Pekuncen dan Desa Adiraja
Tradisi menyambut Ramadan yang dimiliki masyarakat adat Bonokeling adalah perlon unggahan. Mengutip keterangan Budaya Indonesia, tradisi tersebut dipercaya sudah hidup dan dilakukan sejak beberapa abad silam, dan praktiknya selalu digelar setiap sepekan sebelum bulan suci tiba.
Adapun pihak yang menggelar tradisi ini melibatkan warga dari dua desa berbeda di Provinsi Jawa Tengah, yakni Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, dan saudara masyarakat adat mereka di Desa Adiraja, Kecamatan Adipala, Cilacap.
Sedikit informasi, dua masyarakat adat ini adalah keturunan dari Kyai Bonokeling, tokoh pemuka agama di Banyumas yang asal-usul sekaligus sosoknya masih misterius hingga saat ini, dan hanya menjadi rahasia dari anak cucu keturunannya langsung, yakni masyarakat adat Bonokeling itu sendiri.
Menukil penjelasan di laman Indonesia.go.id, Kyai Bonokeling mengajarkan lima ajaran tentang kehidupan bagi keturunannya yang masih dijalani hingga saat ini. Yang pertama, adalah ajaran monembah, yang berarti keturunannya sebagai manusia dianjurkan beribadah dan menyembah kepada Tuhan sesuai keyakinan masing-masing.
Kedua ada moguru, yaitu patuh terhadap perintah orangtua. Mongabdi, yang berarti saling menghargai dan menjalin hubungan antar sesama manusia. Kemudian makaryo yang berarti bekerja, karena tanpa bekerja manusia tak bisa mendapatkan penghasilan yang dapat menunjang kehidupannya di dunia.
Terakhir ada manages manunggaling kawula Gusti, yang artinya hubungan manusia dengan Tuhan tidak melalui perantara apa pun. Menurut keyakinan Bonokeling, setiap orang yang lahir di muka bumi adalah titipan Tuhan. Karena itu, interaksi manusia dengan Tuhannya bersifat langsung tanpa perantara.
Dalam ajaran mereka, perilaku sehari-hari seperti berinteraksi dengan sesama manusia dan bercocok tanam sudah menjadi wujud interaksi pada Tuhan, karena hal tersebut dianggap sebagai proses mengisi kehidupan dengan kehidupan.
Proses berjalan kaki puluhan kilometer
Bukan hanya biasa dilakukan tiap sepekan sebelum Ramadan, perlon unggahan secara spesifik biasanya dilaksanakan setiap hari Jumat. Dalam praktiknya, tradisi ini akan melibatkan ribuan orang dari kedua desa asal masyarakat adat Bonokeling.
Perlon unggahan biasanya dimulai sejak pagi hari saat matahari mulai muncul, dengan melakukan caos bekti, yaitu memberi salam penghormatan kepada para tokoh pemangku atau tetua yang paling dihormati.
Kemudian, proses tersebut dilanjut dengan masyarakat adat yang berasal dari Desa Adiraja di Cilacap, yang akan berjalan kaki sejauh puluhan kilometer menuju Desa Pekuncen, di Banyumas. Hal ini dilakukan sebagai ritual napak tilas perjalanan Ki Banokeling saat menyebarkan ajarannya.
Semua kalangan pria mulai dari usia muda hingga tua melakukan proses perjalanan tersebut sambil memanggul wadah berisi uba rampe, yaitu sesaji berupa hasil panen dari ladang dan hewan ternak sebagai persembahan dan rasa syukur.
Saat sudah tiba dan sampai di waktu pertengahan malam, suasana Desa Pekuncen akan dipenuhi nyanyian tembang-tembang Jawa, yang berisi pujian-pujian atau perkataan baik yang dipanjatkan kepada Kyai Bonokeling.
Lalu keesokan siang harinya, para pria akan berbondong-bondong menyembelih hewan ternak hasil mereka sebagai wujud persembahan yang dibawa dari Desa Adiraja. Hasil bumi itu dimasak bersama-sama secara masal untuk dimakan bersama di sekitar area makam Kyai Bonokeling.
Di saat bersamaa, saat para pria sibuk menyembelih hewan ternak, ratusan perempuan dengan berbalut kemban putih akan memasuki makam Kyai Bonokeling satu per satu dengan khitmad. Mereka membasuh anggota badannya satu per satu, mulai dari kaki, tangan, wajah sambil mengucap doa atau mantra yang dipercaya akan membawa keberkahan.
Masih menurut kepercayan Bonokeling, perempuan memiliki kedudukan yang lebih dihormati daripada pria. Hal itu lantaran perempuan dianggap perwujudan ibu bumi yang menghasilkan keturunan anak cucu pengikut Bonokeling hingga saat ini.
Setelah rampung melakukan prosesi ziarah, seluruh anggota masyarakat adat Bonokeling akan makan bersama di sekitar wilayah makam Kyai Bonokeling. Baru pada keesokan harinya, warga adat yang berasal dari Cilacap kembali lagi ke tempat asalnya dengan tetap berjalan kaki.
Perlon Unggahan di masa kini
Saat pertama kali pandemi terjadi tepatnya di tahun 2020 lalu, perlon unggahan disebut mengalami partisipasi masyarakat adat yang berbeda drastis, yaitu hanya sekitar 13 orang dari yang tadinya bisa mencapai 5.000-an orang.
Baru di tahun 2021, jumlahnya mulai sedikit meningkat menjadi 560 anak cucu dan pengikut Bonokeling, yang ritualnya berlangsung pada hari Jumat (9/4/2021). Yang membedakan, saat itu salah satu proses ritual berupa jalan kaki sepanjang puluhan kilometer ditiadakan.
Kali ini di tahun 2022, tradisi perlon unggahan juga sudah dilakukan pada hari Jumat (25/3) kemarin. Menukil Radar Banyumas, rangkaian kegiatan tersebut sudah dimulai sejak sehari sebelumnya, meski masih dilakukan secara sederhana.
Menurut keterangan Karso selaku Kepala Desa Pekuncen, disebutkan bahwa total masyarakat adat Bonokeling yang datang dan berpartisipasi dari Cilacap berada di kisaran 600 orang.
“Tamu yang dari luar Pekuncen itu kamis sore sampai dengan malam Jumat sudah di sini, dan tengah malam ada kegiatan doa atau dzikir kemudian dilanjutkan pagi harinya persiapan sembelih sapi dan kambing,” jelas Karso. [GNFI]