Nukilan.id – Kumbang merupakan sekelompok serangga yang membentuk ordo Coleoptera berasal dari bahasa Yunani kuno yang memiliki arti “sayap berlubang”. Karena sebagian besar kumbang memiliki dua pasang sayap.
Pasangan sayap yang berada di depan disebut elytra. Pasangan sayap ini mengeras dan menebal yang dapat melindungi pasangan sayap di belakang dan juga melindungi bagian belakang tubuh kumbang.
Ordo Coleoptera memiliki spesies yang lebih banyak daripada ordo mana pun, meliputi hampir 25 persen dari seluruh jenis bentuk kehidupan hewan yang diketahui. Sekitar 40 persen dari seluruh spesies serangga yang telah terdeskripsi adalah kumbang.
“Artinya kumbang merupakan 25 persen dari total semua jenis hewan yang telah dideskripsikan di muka bumi,” kata Raden Pramesa Narakusumo, peneliti kumbang di Muesum Zoologi Bogoriense (MZB) yang disadur dari buku Trubus berjudul Tak Sumbang Memandang Kumbang.
Penyebaran kumbang sangat luas. Kumbang dapat ditemukan di semua habitat besar, kecuali di lautan dan wilayah kutub. Mereka berinteraksi dengan ekosistemnya dengan berbagai cara.
Jadi kita dapat menjumpai kumbang di mana saja seperti di hutan, pegunungan, perkarangan, gua, padang rumput, dan perairan tawar. Kumbang juga menghuni berbagai substrat seperti di serasah, bangkai hewan, dedaunan, kayu yang membusuk, dan jaringan tumbuhan.
Salah satu kumbang terbesar dari genus Chalcosoma yakni kumbang kaukasus (Chalcosoma caucasus). Kumbang ini menjadi maskot Museum Serangga dan Taman Kupu-Kupu, Taman Mini Indonesia Indah. Kumbang jantan memiliki panjang 9-13 cm, sedangkan beitina 5-6 cm.
Ada juga kumbang Euchirus Longimanus yang memiliki kaki depan sangat panjang. Kumbang itu pernah dikoleksi oleh naturalis terkenal asal Inggris Alferd Russel Wallace ketika berkunjung ke Maluku pada abad ke 19.
“Saat itu kumbang berwarna jingga menjadi salah satu ilustasi di buku Wallace yaitu The Malay Archipelago,” tulisnya.
Kumbang dengan banyak peran
Kumbang memiliki keanekaragaman yang tinggi sehingga menjadikannya sangat menarik. Mulai dari bentuk kumbang yang bervariasi, perilaku yang menarik, dan juga perannya beraneka ragam.
Hewan ini bisa berperan sebagai pemakan tumbuhan (herbivora), pemakan cendawan (fungivora), pengurai sisa hewan dan tumbuhan (detritvor), dan pemakan serangga lain (predator).
Selain itu kumbang juga memiliki peran fungsional sebagai penyerbuk tanaman (polinator), pengurai (dekomposer), dan pengendali hama (pemangsa alami hama). Pemanfaatan kumbang paling anyar yaitu untuk bioteknologi kuning atau bioteknologi serangga.
Para peneliti juga memanfaatkan zat aktif alam serangga yang berpotensi diapilikasikan pada bidang pertanian dan farmasi. Zak aktif itu merupakan bahan kimia yang diproduksi kumbang untuk mempertahankan diri.
Namun, sebagian masyarakat tetap keliru memandang kumbang. Mereka menganggap kumbang merugikan manusia karena hanya melihatnya sebagai hama pertanian dan gudang.
“Meski begitu dari 320.000 jenis kumbang yang terdeskripsi, hanya kurang dari 1 persen yang dianggap merugikan manusia. Sisanya lebih dari 99 persen merupakan ecosystem engineer yang secara langsung dan tidak langsung memberikan jasa ekosistem bagi manusia,” ucap Mesa, panggilan akrab Raden Pramesa Narakusumo.
Selain itu beragam bentuk kumbang yang unik menjadikan serangga itu sebagai cinderamata atau koleksi. Banyak orang yang menjual awetan kumbang sebagai tanda mata. Konsumen tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga mancanegara.
Namun hampir 95 persen kumbang yang dipakai sebagai cinderamata merupakan hasil tangkapan alam. Hal ini bisa memicu kepunahan kumbang jenis tertentu. Kerusakan habitat juga memiliki andil dari kepunahan suatu jenis kumbang.
Mesa menyebut tidak sepenuhnya salah membuat awetan kumbang sebagai tanda mata atau koleksi. Sebaliknya yang diperdagangkan merupakan kumbang hasil penangkaran secara berkelanjutan.
“Penangkapan satwa liar termasuk serangga dan kumbang tentu saja dapat dilakukan. Syaratnya harus sesuai dengan kuota yang ditentukan dan perizinan ketat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), serta mendapatkan rekomendasi ilmiah dari LIPI,”kata Mesa.
Mesa juga mendorong studi populasi jenis-jenis kumbang yang kerap diperdagangkan perlu dilakukan dan diperhatikan oleh para pihak yang berkepentingan. Dirinya berharap semoga makin banyak peneliti muda, mahasiswa dan ilmuan warga yang semakin tertarik dengan studi kumbang.
Kumbang yang mulai menghilang
Mesa jelas khawatir karena para entomolog tengah meramalkan akan terjadi pengurangan signifikan dari jumlah populasi serangga secara global. Pemicunya antara lain krisis alami secara masif, penggunaan pestisida berlebihan dan pertanian tidak berkelanjutan.
Dari studi evidence synthesis yang populer diperkirakan populasi kumbang berkurang sekitar 49 persen dalam 4 dekade terakhir dengan laju kepunahan sekitar 6,6 persen per tahun. Risiko kepunahan tertinggi menimpa kumbang dengan tingkat endemisitas yang tinggi.
Misal sebanyak 103 jenis baru kumbang Trigonopterus dari Pulau Sulawesi dan tujuh jenis baru dari Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku yang telah dipublikasikan oleh Mesa. Sebanyak 98 persen dari kumbang ini hanya memiliki habitat di satu lokasi.
“Dampaknya jika terjadi kerusakan habitat di satu lokasi saja, maka kumbang-kumbang Trigonopterus yang hidup di dalamnya akan punah,” jelas Mesa.
Merujuk pada International Union for Conservation of Nature (IUCN) Redlist, saat ini ada 70 jenis kumbang yang berstatus kritis (critically endangered). Namun, angka ini berasal dari kumbang-kumbang yang telah dilakukan studi populasinya.
Namun Mesa menyayangkan studi semacam ini sangat jarang dilakukan. Padahal bila melihat kerusakan lingkungan yang masif dan juga krisis iklim yang terjadi, maka ratusan ribu jenis kumbang yang ada di muka bumi bisa terancam kelestariannya.
Di Indonesia upaya pelestarian kumbang secara khusus belum ada. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106/2018 tentang perllindungan satwa liar juga belum ada nama jenis kumbang yang diusulkan untuk dilindungi.
Beragam upaya sebenarnya telah dilakukan, antara lain membangun kawasan konservasi serta upaya masyarakat desa hutan dan adat plus rekan-rekan lembaga swadya masyarakat (LSM) yang menjaga kelestarian hutan.
Mesa juga berharap, masyarakat bisa berperan aktif dalam menjaga kelestarian kumbang dan serangga di sekitar dengan cara menjaga dan merawat lingkunga. Karena bila terjadi satu kepunahan akan berakibat pada rantai ekosistem lain.
“Misal ada satu jenis kumbang yang menjadi predator spesifik hama tertentu punah, maka hama itu mewabah sehinggga merugikan manusia,” ucapnya. [GNFI]