Nukilan.id – Profesor Veena Sahajwalla punya kebiasaan unik. Setiap kali hendak berangkat ke kantor, dia akan mengecek dengan saksama isi semua tong sampah di rumahnya.
Sebagaimana diulas situs Abc.net, suami Sahajwalla, Rama Mahapatra, mengatakan bahwa istrinya tergila-gila dengan sampah.
Sampah-sampah yang ditemukan Sahajwalla diangkutnya dengan mobil ke tempat daur ulang.
“Mobilnya penuh dengan sampah,” kata Rama.
Akan tetapi bagi Veena semua yang dikumpulkannya itu bukan sampah, melainkan peluang.
“Sampah adalah salah satu sumber daya yang menunggu untuk digunakan dengan maksimal,” ujar Sahajwalla.
Bagi Professor Sahajwalla, bungkusan kentang goreng bukan semata bungkus tanpa nilai. Di lapisan dalamnya terdapat aluminium yang bisa digunakan.
Berkeliling di Pusat Pendauran Ulang Kimbriki di Sydney, dia mengambil contoh sebuah pot plastik dan kursi plastik yang dibuang di sana.
“Semua bahan plastik ini bisa dimanfaatkan lagi di Australia,” katanya.
Setiap tahunnya ada 67 juta ton sampah yang dibuang di seluruh dunia dan sekarang masalah pembuangan sampah sudah menjadi krisis.
“Sudah terlalu lama kita semua berpiikir bahwa kita bisa menggunakan sesuatu dan kemudian membuangnya,” kata Profesor Sahajwalla.
Tahun 2020, Australia mulai mengambil langkah serius menangani dampak dari krisis sampah dengan pelarangan ekspor sampah yang belum diproses.
Profesor Sahajwalla mengatakan sudah waktunya mencari cara baru untuk menggunakan kembali sampah-sampah yang kita hasilkan.
“Kita tidak bisa lagi beranggapan dapat mengumpulkan sampah kita dan mengirim ke luar negeri dan kemudian menjadi masalah bagi orang lain untuk menyelesaikannya,” katanya.
“Pendeknya, kita harus mengambil tanggung jawab untuk mengatasi masalah sampah kita sendiri.”
Pandangan Profesor Sahajwalla selalu ke depan dengan pemikiran inovatifnya sudah mengarah ke pembuatan “keramik hijau ramah lingkungan”, produk yang diperkirakan akan mengubah wajah manufaktur dan bagaimana kita mengisi kebutuhan rumah tangga.
Baginya, daripada mengimpor marmer mahal dari Italia sebenarnya orang bisa menggunakan marmer yang dibuat dari bahan kaca yang dikombinasikan dengan bahan baju bekas, dan marmer ini bisa digunakan untuk dapur dan kamar mandi.
Apa yang dilakukan Profesor Sawajhalla sudah mulai dilakukannya dua puluh tahun lalu.
Dia pernah menciptakan cara untuk bisa memisahkan karbon dari ban bekas yang digunakan dalam proses pembuatan baja guna menggantikan batu bara.
“Ketika itu kita terlalu mengandalkan bahan tradisional seperti batu bara dan tidak seorang pun mencari bahan alternatif,” katanya.
Dia menyebutnya sebagai baja “hijau” ramah lingkungan, dan sejak itu jutaan bekas tidak lagi dibuang begitu saja.
Karena penemuannya tersebut, Profesor Sahajwalla menjadi “ilmuwan superstar” yang dikenal luas di dunia internasional.
“Itu inovasi yang hanya terjadi 100 tahun sekali dalam cara produksi baja,” kata Kylie Walker, CEO Akademi Teknologi dan Teknik Australia.
“Penemuannya belum pernah terpikirkan sebelumnya.”
Sejak itu Profesor Sahajwalla terus mengembangkan pemikiran untuk mendaur apa saja yang mungkin dilakukan.
“Kita harus berpikiran berani dan jauh ke depan,” katanya.
Menurut laporan lembaga ilmu pengetahuan Australia CSIRO di bulan Januari, Australia bisa menambah sekitar Rp 10 triliun ke dalam angka GDP tahunan dengan memfokuskan diri pada pendauran ulang lebih banyak lagi bahan yang ada.
Profesor Sahajwalla dibesarkan di Mumbai, India, di mana banyak warga di sana tidak mampu membeli barang baru.
“Tidak ada barang yang disia-siakan, semua memiliki potensi, semua bisa digunakan lagi,” katanya.
Sejak kecil kemanapun dia pergi, Profesor Sahajwalla melihat bagaimana warga mendaur ulang apa yang bisa mereka lakukan.
“Saya melihat orang memperbaiki sepatu yang rusak, atau orang membawa gerobak mengangkut televisi, atau memanggul barang-barang berat di pundak atau kepala mereka.”
“Bahkan sampai sekarang ini masih menjadi bagian besar dari perekonomian, perbaikan barang rusak.”
“Hal itulah yang memberi inspirasi saya untuk belajar teknik di universitas,” katanya.
Ayahnya adalah seorang insinyur sipil dan ibunya seorang dokter anak yang selalu melakukan perjalanan jarak jauh menggunakan transportasi umum.
“Ibu saya sampai sekarang tetap menjadi panutan,” kata Professor Sahajwalla.
“Baginya semua hal mungkin. Lakukan apa yang senang lakukan namun lakukan dengan maksimal dan jadilah yang terbaik.”
Profesor Sahajwalla menjadi satu-satunya perempuan yang kuliah di jurusan metalurgi di Institut Teknologi India.
“Waktu itu memang terlihat aneh dalam menekuni bidang yang saya sukai, yaitu sains dan teknik. Namun saya menyukainya.”
Profesor Sahajwalla bertemu suaminya di Vancouver, Kanada, di mana keduanya sedang belajar teknik metalurgi di University of British Columbia.
Ketika Sahajwalla menyelesaikan pendidikan doktoralnya, dia kemudian mengikuti suaminya pindah ke Australia.
“Saya memulai karir saya di CSIRO sebelumnya akhirnya di UNSW.”
Di University of New South Wales, Profesor Sahajwalla mulai bekerja yang akhirnya menemukan baja ‘hijau’ ramah lingkungan tersebut.
Dia berharap generasi berikutnya bisa menghilangkan batu bara sama sekali dalam proses pembuatan baja.
Tahun 2005, Profesor Sahajwalla memenangkan Hadiah Eureka penghargaan tertinggi di bidang sains di Australia.
Sejak itu dia sudah menerima berbagai penghargaan baik di Australia maupun dari tempat lain.
Sekarang dia mendapat pendanaan untuk mengembangkan Pusat Penelitian Teknologi Bahan-Bahan Berkelanjutan (SMaRT) di UNSW dan bersama 30 insinyur muda lainnya memulai penelitian mengenai bahan-bahan sampah yang bisa digunakan.