Nukilan.id – Sepanjang 2020-2021, terdapat 19 kasus perburuan dan perdagangan satwa lindung di Aceh dengan jumlah pelaku 42 orang. Pemberatan hukuman bagi otak pelaku dinilai perlu jadi opsi utama agar kelak bisa memberikan efek jera.
Hal itu menjadi benang merah dalam diskusi ”Membedah Data Penegakan Hukum Kasus Perburuan dan Perdagangan Satwa”, Jumat (21/1/2022). Diskusi digelar Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh dan Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (Haka).
Pengurus Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Teuku Muhammad Zulfikar, menuturkan, penegakan hukum harus terus berjalan meski belum sepenuhnya mampu menghentikan perdagangan. ”Sulit dihentikan karena aktor utama dan pembeli masih bebas (tidak ditahan),” kata Zulfikar.
Sejauh ini, dari 42 pelaku, sebanyak 19 orang telah divonis, 11 orang sedang menjalani sidang, dan 12 orang lainnya berstatus tersangka. Sembilan tersangka di antaranya masih buron. Vonis tertinggi adalah 4 tahun 6 bulan penjara dalam kasus pemburuan gading gajah di Aceh Timur. Sementara vonis terendah dalam kasus kematian gajah karena pagar listrik di Pidie, yakni 6 bulan penjara.
Dari kasus perburuan dan perdagangan tersebut, puluhan satwa lindung mati. Burung rangkong menjadi satwa paling banyak dibunuh, yakni 71 individu. Kemudian, ada harimau sumatera (11) dan gajah sumatera (9). Beberapa satwa lindung lain yang diperdagangkan adalah sisik trenggiling, orangutan, dan siamang.
Zulfikar mengatakan, selain aparat penegak hukum, pemerintah dan elemen sipil harus berkolaborasi melindungi satwa. ”Jangan sampai punah dan kita menyesal karena gagal melindungi,” kata Zulfikar.
Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Aceh, Husaini, menuturkan, jika dilihat dari besaran vonis hukuman, penegakan hukum disebut sudah cukup baik. Namun, kata Husaini, dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, hukuman maksimal bagi pelakunya hanya 5 tahun.
”Undang-undang ini perlu direvisi, menyesuaikan dengan kondisi sekarang, termasuk pemberatan hukuman,” kata Husaini.
Ia mengatakan, dalam beberapa kasus, pelaku mengaku telah beberapa kali melakukan perburuan. Namun, pelakunya memang baru sekali tertangkap. Para pelaku yang telah berulang kali menjual satwa lindung semestinya dapat dikenai hukuman berat, misalnya dijerat dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
Saksi ahli satwa lindung dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Taing Lubis, menuturkan, sudah saatnya ada pemberatan hukuman bagi pelaku perburuan dan perdagangan satwa lindung. Alasannya, organ satwa lindung dari Aceh dipasok untuk kebutuhan pasar ilegal internasional.
”Saya melihat para tersangka memiliki mobil mewah dan menggunakan telepon mahal. Artinya, mereka bukan pemburu miskin yang semata-mata untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,” kata Taing. [Kompas]