Puslitbang UNHAS Gelar Webinar Perkuat Solidaritas Sosial Selama Pandemi

Share

Nukilan.id – Pandemi Covid-19 belakangan ini menjadi sangat mengkhawatirkan dan berdampak besar terhadap kehidupan seharian masyarakat Indonesia dan sedunia. Dengan jumlah kematiannya yang tinggi dan bertumbuh sangat cepat, serta kebijakan-kebijakan mitigasi yang membatasi masyarakat untuk keluar rumah sehingga harus work from home. Namun, bagaimanakah dampaknya dari pandangan sosiologi, psikologi dan politik?

Untuk mendiskusikan lebih mendalam fenomena ini, Center for Peace, Conflict & Democracy (CPCD) Universitas Hasanuddin (Unhas) atau Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Perdamaian Konflik dan Demokrasi Unhas, dan SDGs Centre menyelenggarakan Peace & Democracy Colloquium Seri 7 pada Kamis (16/12/2021) pukul 14:00-16:00 Wita.

Tema Webinar di bulan Desember ini adalah “Perubahan Sosial Masyarakat di Masa Pandemi” dan acaranya dijalankan secara daring. Di Peace & Democracy Colloquium 7 hadir 3 narasumber, yakni Mohammad Hasan Anshori, PhD (Direktur eksekutif The Habibie Center dan Dosen Dep. Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah), Elvita Bellani, S.Psi, M.Sc (Peneliti CPCD dan Dosen Dep. Psikologi Universitas Hasanuddin) dan Dr. Rahmat Muhammad (Dosen Dep. Sosiologi, Unhas, Divisi Damai & Adil SDGs Center Unhas). Diskusi ini dimoderatori oleh Rafika Ramli (Peneliti SDGs Center Universitas Hasanuddin).

Colloqiumnya dibuka dan dimulai dengan materi pertama oleh Mohammad Hasan Anshori, PhD. Ia membawa materi berjudul ‘Pandemi, Kelas Sosial, dan Konflik’ dan memaparkan tentang bagaimana pandemi Covid-19 berdampak berbeda terhadap kelas tengah dan bawah di Indonesia, serta bagaimana pandemi dapat menimbulkan berbagai macam konflik dalam masyarakat.

Menurut Mohammad Hasan Anshori, PhD, meskipun Covid-19 kemungkinan besar pertama dibawa ke Indonesia oleh seseorang kelas menengah, tapi karena populasi Indonesia yang mayoritas orang-orang kelas bawah merekalah yang paling terpukul.

“Contohnya adalah penerapan kebijakan mitigasi bencana Covid-19 dengan pembatasan pergerakan ketat dan himbauan untuk tidak keluar,” ujarnya.

Mohammad Hasan menjelaskan bahwa itu memiliki konsekuensi berbeda terhadap orang-orang kelas menengah dan kelas bawah.

“Bagi kelas menengah, tidak keluar berarti menikmati kebersamaan keluarga tanpa rasa khwatir terkait tunggangan gaji. Tapi bagi kelas bawah, tidak keluar rumah berarti tidak makan hari itu juga,” jelasnya.

Kemudian, Mohammad Hasan juga menjelaskan tentang dua macam konflik yaitu konflik vertical (antara masyarakat dan pemerintah atau melibatkan unsur pemerintah) serta konflik horizontal (antar masyarakat sendiri atau ketika masyarakat bertikai antara mereka sendiri). Pandemi Covid-19 melahirkan kedua macam konflik ini di Indonesia.

“Contohnya adalah konflik antara pedagang kecil, ojek, atau asisten rumah dengan apparat keamanan. Di situasi ini terlihat pola, yaitu bahwa penghasilan mereka bersifat harian dan terpukul keras oleh pandemi. Contoh lainnya adalah penolakan warga untuk tenaga medis covid-19 tinggal di wilayahnya, pengucilan tenaga medis tersebut, serta konflik anatara buruh dan pengusaha akbiat pemutusan hubungan kerja,” terangnya.

Dengan demikian, Mohammad Hasan membawa argument bahwa pemerintah harus cepat dan tangap memberi prioritas kebijakan ketahanan pangan untuk masyarakat kelas bawah. Jika tidak dilakukan secepatnya, kelas bawah tersebut akan jatuh pada kemiskinan ekstrim.

Sementara itu, Elvita Bellani, S.Psi, M.Sc memaparkan materinya yang berjudul “Perubahan Sosial Masyarakat di Masa Pandemi”, dimana ia menganalisa tanggapan masyarakat terhadap pandemi Covid-19 dari pandangan psikologi.

Pertama, ia menjelaskan bahwa reaksi masyarakat terhadap suatu peristiwa seperti Covid-19 ada prosesnya. Diawali dengan first appraisal atau penilaian pertama, seseorang menentukan apakah adanya ancaman atau tidak.

“Apabila tidak ada, maka tidak akan mengalami stress,” ungkapnya.

Namun kalau ada, lanjut Elvita, berikutnya melakukan second appraisal atau penilaian kedua, dimana mereka mengukur apakah cukup kapabilitasnya dan sumber daya untuk mengatasi ancaman atau tantangan tersebut. Ini sangat relevan karena terlihat bahwa selama pandemic, tentu saja ada orang-orang yang lebih siap menghadapinya daripada orang lain, baik karena lebih banyak uangnya atau sumber daya sosialnya.

“Penilaian kedua ini akan menentukan apakah stress yang dialaminya akan bersifat negative atau positif, atau apakah mereka akan berhasil beradaptasi terhadap perubahan yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19,” jelasnya.

Elvita juga menjelaskan tentang Window of Tolerance atau tingkat-tingkat toleransi serta perasaan-perasaan yang kita alami dengannya.

“Berdasarkan tingkat reaksi emosional kita terhadap pandemi, kita bisa merasa cemas dan marah, waspada dan siap beradaptasi, atau bahkan Lelah dan pasrah,” imbuhnya.

Menurut Elvita, respon psikologis terhadap pandemi juga dapat berubah dengan waktu, dari sikap herois menjadi Lelah, kemudian masuk tahap rekonstruksi.

Oleh karena itu, Elvita Bellani menyimpulkan bahwa adanya hal-hal yang perlu diawasi selama pandemi Covid-19 yaitu perasaan kesepian serta kecemasan dan depresi anatar teman-teman dan keluarga, serta kepercayaan dan perilaku yang bersifat maladaptive seperti percaya hoaks mengenai vaksin. Ia menutup dengan motto “Let’s Take Care of Ourselves and Look After Each Other”.

Menurut Elvita, dalam kondisi pandemi, dibutuhkan untuk selalu saling menjaga dengan memastikan semua anggota keluarga, teman atau tetanggan tidak merasa sendiri dalam menghadapi permasalahan. Kita sebaiknya justru harus semakin memperkuat solidaritas sosial.

Sebagai narasumber terakhir, Dr. Rahmat Muhammad membawa materi tentang “Perubahan Sosial dan Politik Akibat Pandemi” dimana ia menjelaskan keunikannya Covid-19 dalam dampaknya terhadap ekonomi dan politik di Indonesia dan dunia.

Ia membuka materinya dengan perbandingan Covid-19 dengan wabah-wabah yang pernah dialami manusia dalam sejarah seberti wabah abad pertengahan Black Death dan Avian Influenza pada masa 2000-an.

“Sejarah peradaban mencatat, krisis kesehatan akibat pandemik menjadi faktor penting yang menghadirkan perubahan dalam tata kelola sosial, politik dan ekonomi,” terangnya.

Misalnya, kata Dr. Rahmat, wabah Black Death dipercaya adalah salah satu faktor yang menggeser perimbangan kekuasaan dalam sistem monarki dan pemilikan tanah di Eropa. Sedangkan Avian Influenza menyebabkan krisis industri peternakan dan kerugian besar sehingga melahirkan normalisasi baru yang merombak tatanan mapan di beberapa level dan sektor kehidupan masyarakat.

Covid-19 juga menimbulkan banyak perubahan sosial, ekonimi dan politik. Terlihat sekarang bahwa Covid-19 menyebabkan pemerosotan ekonomi secara sistemik. Kontraksi ekonomi yang memicu resesi global.

Bagi Dr. Rahmat Muhammad, pandemi ini menimbulkan anomali ekonomi. Namun di sisi lain bisnis virtual justru semakin menggiat, membuat perubahan perilaku ekonomi dunia.

Kemudian, ia menjelaskan bahwa pandemi bisa melahirkan political instability seperti penundaan atau penyesuaian mekanisme demokrasi elektoral. Meskipun perubahan akibta pandemi Covid-19 sangat luas dan menakutkan bagi masyarakat, terlihat juga kemampuan masyarakat untuk mengatasinya.

“Sehingga meskipun ditengah pandemi, proses-proses demokrasi seperti pilkada tetap dilaksanakan sedunia, baik di Amerika Serikat ataupun di daerah lokal Indonesia,” pungkas Dr. Rahmat[]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News