Oleh*Supriadi, S.Sos
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional.
Dalam sejarah panjang dunia kita bisa melihat bagaimana proses terjadinya konflik hingga lahir pola penyelesaiannya, contoh: konflik yang terjadi di Yaman antara pemerintahan Ali Abdullah Saleh dengan kelompok Pemberontak Al Houthi menyebabkan terjadinya enam kali bentrok senjata antara kedua belah pihak tersebut. Awal mula konflik internal itu terjadi adalah Pemerintah Yaman di selatan menuding kelompok Pemberontak Al-Houthi ingin menggulingkan sistem pemerintahan dan menggantikannya dengan sistem Imamah. Sedangkan kelompok Pemberontak Al-Houthi yang didukung oleh penduduk Yaman Utara menuding pemerintahan Yaman yang sejak bergabungnya antara Yaman Utara dan Yaman Selatan pada tanggal 22 Mei 1990 dan dipimpin oleh Ali Abdullah Saleh melakukan diskriminasi dan marginalisasi ekonomi kawasan Sa’da di Utara Yaman.
Konflik yang terjadi di Yaman tersebut semakin diperparah dengan adanya campur tangan tentara Arab Saudi yang ikut membantu pemerintah Yaman dalam menghadapi kelompok Pemberontak Al-Houthi. Pada perundingan pertama yang dilakukan di Doha antara Pemerintah Yaman pimpinan Ali Abdullah Saleh dengan kelompok Pemberontak Al-Houthi sepakat melakukan gencatan senjata. Pemerintah Yaman mengajukan enam persyaratan yaitu meminta kepada kelompok Pemberontak Al-Houthi untuk menarik pasukannya dari bangunan milik negara, membuka kembali jalan-jalan di utara Yaman, mengembalikan senjata yang dirampas oleh kelompok Pemberontak Al-Houthi kepada pemerintah Yaman, membebaskan seluruh tawanan termasuk warga Arab Saudi, mengosongkan pos-pos militer diwilayah pergunungan, dan menghentikan penyerangan terhadap tentara dan wilayah Arab Saudi yang dilakukan kelompok Pemberontak Al-Houthi.
Aceh adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang punya sejarah panjang sebelum ploklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Aceh yang identik daerah pejuang juga punya sejarah yang tidak bisa dilupakan yaitu konflik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (RI-GAM). Menurut sejarawan Anhar Gonggong, sumber kekerasan terhadap rakyat Aceh adalah kebijakan pemerintah pusat yang dibangun di atas keadaan psikologis yang penuh curiga kepada Aceh. Kecurigaan itu semakin membesar apabila mendekati pemilihan umum.
Pada masa Presiden B.J. Habibie sudah mencoba meredamkan konflik di Aceh, tepatnya pada 26 Maret 1999 membuat sembilan janji kepada rakyat Aceh. Atas kekerasan yang terjadi di Aceh, Presiden B.J. Habibie meminta maaf kepada seluruh rakyat Aceh. Ia juga memerintahkan agar aparat keamanan tidak melakukan tindak kekerasan. Wacana untuk pemberian Syariat Islam dan kekhususan Aceh juga digagas pada era Pemerintahan B.J. Habibie. Gagasan ini dituangkan pada Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 yang mengatur penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Masalahnya, masih belum ada kajian yang mencoba memetakan keberhasilan dan kegagalan konsep otonomi khusus Aceh ini. Faktor lain, upaya kesepakatan damai ini mengalami kegagalan di karenakan kurangnya komitmen kedua pihak yang bertikaian.
Selanjutnya pada masa Presiden Abdurrahman Wahid. Upaya untuk meretas perundingan dengan pihak GAM ditempuh, ketika pada 15 Mei 2000 Presiden Abdurrahman Wahid berunding dengan GAM dan menandatangani Jeda Kemanusiaan. Jeda kemanusiaan ini berlangsung sejak Juni-Agustus 2000, setelah berakhir masanya, program ini dievaluasi dan dilanjutkan kembali pada Jeda Kemanusiaan II. Pada 11 April 2001, Presiden Abdurrahman Wahid akhimya menetapkan Instruksi Presiden Nomor IV Tahun 2001 tentang langkah-Iangkah menyeluruh dalam penyelesaian kasus Aceh yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, hukum dan ketertiban masyarakat, keamanan, serta informasi. Banyak yang menganggap Inpres ini diarahkan untuk memberikan kewenangan kepada TNI agar melakukan operasi militer terbatas, dan GAM disebut sebagai kelompok separatis.
Kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid menggagas pemberian otonomi khusus kepada masyarakat Aceh, namun tidak sempat terealisir karena ia lebih dulu dimakzulkan oleh MPR. Gagasan pemberian otonomi khusus akhirnya diundangkan oleh Presiden Megawati Soekarno Puteri, melalui UU No. 18 Tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Syariat Islam untuk Aceh. Untuk meretas jalan bagi keamanan di Aceh.
Pemerintahan Presiden Megawati pada 2 Februari 2002 melakukan perundingan di Jenewa dengan pihak GAM. Pada 9 Desember 2002 Pemerintah dan GAM secara resmi menandatangani Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA-Cessation ofHostilities Agreement) dan membentuk suatu Komite Keamanan Bersama untuk memantau kesepakatan tersebut dengan mediator Henry Dunant Centre (HDC). Intervensi pihak militer atas CoHA terlihat gamblang dua minggu menjelang gagalnya pertemuan CoHA, 28 April 2003 di Tokyo Jepang. Bahkan antisipasi gagalnya CoHA tampak ketika kurang dari dua minggu, pasukan organik telah dikirimkan ke Aceh. Akhimya pada 19 Mei 2003 Presiden Megawati Soekarno Puteri mengeluarkan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2003 tentang peningkatan keadaan status di wilayah Nanggroe Aceh Darusalam.
Akhirnya, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berhasil menyelesaikan konflik yang selama puluhan tahun terjadi di Aceh. Pemerintah Indonesia dan petinggi Gerakan Aceh Merdeka menandatangani perjanjian perdamaian di Helsinki. Melalui perjanjian yang diteken pada 15 Agustus 2005 itu kedua pihak sepakat mengakhiri konflik yang selama ini terjadi di Tanah Rencong tersebut.
Lahirnya perjanjian Helsinki diikuti dengan penetapan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam rangka menyelesaikan masalah atau konflik sosial di kalangan masyarakat, Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono juga membentuk lembaga-lembaga dialog. Antara lain pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Presiden SBY juga memfasilitasi pembentukan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), pembentukan Komunitas Intelijen Daerah (KOMINDA) dan Forum Pembaruan Kebangsaan (FPK).
Peran SBY.
Pertama, mencetuskan perundingan perdamaian di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Kedua, SBY menerapkan kebijakan yang berbeda dengan sebelumnya yaitu melalui dialog dengan posisi yang “setara” dengan dibantu mediator yang cukup netral dan proaktif. Hasilnya MoU tersebut telah mengantarkan adanya proses perdamaian di Aceh. Ketiga, keberanian dan konsistensi dalam mengwujudkan perdamaian. Keempat, tsunami 26 Desember 2004 sebagai peluang menciptakan perdamian.
Gagasan SBY
Pertama, Penyelesaian konflik dengan pendekatan pragmatis, fleksibel, dan menjangkau jauh kedepan. Kedua, membangun kepercayaan dengan pihak berkonflik, sejak tahun 2000 (saat menjabat Menkopolhukam) hingga 20004. Ketiga, menawarkan Otonomi Khusus untuk Aceh. Keempat, Menciptakan nilai-nilai peradaban bagi bangsa Indonesia dengan membuka pintu damai secara ikhlas, jujur, dan berani.
SBY mengatakan dalam buku “SBY dan Resolusi Konflik” yang ditulis oleh Dr. Djohan Effendi berpesan “Dalam hal ini pemimpin harus mampu thinking outside the box”.
Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana Universitas Malikussaleh Lhokseumawe