Nukilan.id – Disela-sela Kunjungan Kerja ke Mahkamah Syar’iyah Jantho dan Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Dra. Hj. Rosmawardani SH MH, didampingi oleh Hakim Tinggi Pengawas Daerah, Dra. Hj. Zubaidah Hanum berserta jajarannya bersilaturahmi dengan Bupati Aceh Besar, Ir Mawardi Ali.
Pertemuan tersebut berlansung di ruang kerja Kantor Bupati Aceh Besar, di Jantho, Senin (2/8/2021).
Dalam pertemuan tersebut, Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Dra. Hj Rosmawardani SH MH mengapreasiasi Bupati Aceh Besar, Ir Mawardi Ali atas perhatian dan kerjasama yang apik dengan satuan kerja Mahkamah Syar’iyah Jantho.
“Sebagaimana catatan Kami bahwa, Jantholah satu-satunya Pemerintah Daerah yang memperhatikan lebih signifikan prosesi persidangan jinayat dengan mengalokasi dana eksekusi terpidana serta bantuan untuk aparat penegak hukum (APH) Polisi, Jaksa dan Hakim,” ujar Rosmawardani.
Rosmarwardani menambahkan bahwa, Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga yang bernilai (value) istimewa di Provinsi Aceh, tapi juga memiliki keistimewaan dalam pandangan dunia peradilan di Indonesia, bahkan dunia peradilan internasional.
“Di daerah lain, lembaga peradilan dikenal dengan sebutan Pengadilan Agama, sedangkan di Provinsi Aceh dikenal dengan Mahkamah Syar’iyah,” ujarnya.
Perubahan ini tentu tidak mutatis mutandis (otomatis), kata Rosmawardani, melainkan diawali dengan aturan regulasi Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh, kemudian dipertegas dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus dan dijabarkan khusus dalam Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Islam.
Lanjutnya, perubahan nama dari sebutan Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah dilakukan oleh Presiden, yang dimaktub dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pasca Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006, menjadi sebutan Provinsi Aceh, Kekuasaan kehakiman yang menjadi legal standing dari Mahkamah Syar’iyah Aceh diatur dalam aturan khusus, yaitu Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA) Nomor 70 tahun 2004 tentang Pelimpahan sebahagian Kewenangan dari Peradilan Umum Kepada Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh Nomor KMA/070/SK/X/2004 oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pada saat itu dijabat oleh Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL.
“Tidak hanya sekedar cukup dengan aturan legal yuridis itu saja, eksistensi Mahkamah Syar’iyah Aceh dipertegas lagi dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang merupakan penjabaran dari Memorandum Of Understanding (MoU) di Helsinki 15 Agustus 2006 antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka,” jelasnya.
Artinya, jelas Rosmawardani, eksistensi Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh sebagai salah satu lembaga wadah yang merupakan serta mengakomodir keistimewaan provinsi Aceh harus mendapat dukungan moril dan materil dari pemerintah Aceh secara holistik dan komperehensif ujar Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh.
Selain itu, Ketua Mahkamah Aceh juga mengutarakan, Qanun tentang aturan hukum pidana (jinayat) Islam yang merupakan produk dari eksekutif maupun legislatif Pemerintah Aceh, seperti Qanun Nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat semuanya bermuara penyelesaian menjadi yurisdiksi kompetensi absolute dari Mahkamah Syar’iyah Aceh. Teranyar Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah yang baru saja diterapkan, juga akan segera menambah tugas Mahkamah Syar’iyah Aceh.
“Dengan demikian, pengembangan sumber daya manusia, baik itu kategori hakim dan panitera serta juru sita atau dalam ruang lingkup kerja lembaga Mahkamah Syar’iyah Aceh, bukan saja tanggungjawab pemerintah pusat (Mahkamah Agung Republik Indonesia), akan tetapi menjadi hak dan tanggung jawab Pemerintah Aceh,” terangnya.
Karenanya, Rosmawardani berharap, Pemerintah Aceh juga harus memberi porsi segenap perhatian yang serius bagi perkembangan eksistensi lembaga Mahkamah Syar’iyah kedepan dan dalam hal-hal nonteknis untuk menjalankan role dan rule lembaga istimewa ini (Mahkamah Syar’iyah) ke depan secara berkesinambungan dan tanpa batasan.
“Tentu bupati dan wali kota secara hierarki pemimpin pemerintahan di Provinsi Aceh dalam hal nonteknis, terutama menyangkut penyediaan sarana serta prasarana yang dapat menunjang kegiatan serta memelihara dan meningkatkan eksistensi dari Mahkamah Syar’iyah dapat dibebankan pada APBA/APBK, demi terwujudnya masyarakat Aceh yang damai, madani, serta religius,” sebutnya.
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah yang dulu hanya mengadili sengketa keluarga, perkara perdata, ditambah dengan kewenangan mengadili Qanun yang dibuat oleh dari Pemerintah Aceh yaitu perkara jinayat (pidana Islam), serta teranyar menjadi lembaga tunggal penyelesaian perkara ekonomi Syariah yang salah satu efek dari Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah yang mutatis mutandis (otomatis) semua akad (perjanjian) perbankan adalah Skema Ekonomi Syariah.
Sementara itu, Bupati Aceh Besar, Ir Mawardi Ali mengucapkan terima kasih atas kunjungan silaturahmi Ketua beserta pimpinan Mahkamah Syar’iyah Aceh.
“Kami sangat mendukung eksistensi Mahkamah Syar’iyah Aceh khususnya Mahkamah Syar’iyah Jantho secara optimal tentu kedepan kami akan meningkatkan sinergisitas untuk melaksanakan dan mengimplementasikan Qanun Jinayat dan Qanun Syiar Islam lainnya secara kompeherensif,” ungkapnya.
Mawarkan menyebutkan, langkah langkah yang akan diambil dengan melakukan mapping review kendala-kendala dalam pelaksanaan impelementasi Qanun.
“Kami juga akan melakukan sinergisitas dengan Mahkamah Syar’iyah Jantho sebagai unsur Forkompimda juga, tentu langkah pencegahan dengan sosialisasi Hukum Keluarga (Al Ahwal Al Syakhshiyyah) serta Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014 serta Qanun 11 tahun 2018 tentang lembaga keuangan syariah kepada seluruh masyarakat Aceh Besar,” sambungnya.
Bukan itu saja, Bupati Aceh Besar juga akan mencari format untuk mengoptimalisasi tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Wilayatul Hisbah (WH) kembali sebagaimana tujuan awal pembentukannya. Apalagi ini momen 19 tahun pelaksanaan formalisasi Syar’iat islam di Aceh sejak lahirnnya Qanun 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam, tentu akan menjadi spirit bagi kami dalam pelaksanaan Syar’iat islam di Kabupaten Aceh Besar.
“Insha Allah kami mendukung penuh Mahkamah syar’iyah jantho dalam mewujudkan dan memberikan pelayanan hukum yang adil dan maksimal untuk masyarakat Aceh besar. Terima kasih untuk itu kami akan terus berkoordinasi secara berkala,” pungkas Mawardi dalam nuasa penuh keakraban di akhir pertemuan tersebut.[]