Vaksinasi Berbayar Bisa Membebani Pekerja

Share

Nukilan.id – Pemerintah membatasi penerima vaksinasi berbayar untuk masyarakat yang bekerja di perusahaan yang terdaftar dalam program vaksinasi gotong royong Kadin Indonesia. Kebijakan itu dikhawatirkan bisa membebani pekerja di perusahaan kecil dan padat karya. Hal ini juga dirasakan tidak menjawab inti masalah keterbatasan akses vaksinasi gotong royong.

Pemerintah sebelumnya beralasan opsi vaksinasi berbayar dikeluarkan untuk memperluas akses bagi perusahaan yang sulit mengakses vaksinasi gotong royong (VGR) dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Perusahaan yang kesulitan mengakses umumnya perusahaan berskala kecil dan sektor padat karya yang menilai harga vaksin Sinopharm terlalu mahal.

Sementara itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengatakan, hasil rapat koordinasi di Istana Kepresidenan pada Senin (12/7/2021) sore, menyepakati bahwa penerima vaksinasi individu berbayar harus masyarakat yang dinaungi perusahaan atau lembaga tempat ia bekerja, yang sudah mendaftar untuk program VGR yang dikelola Kadin.

“Data yang akan digunakan adalah data badan usaha atau lembaga yang telah terdaftar untuk VGR melalui Kadin, dan itu divalidasi oleh Kementerian Kesehatan. Hal ini akan dirinci lebih lanjut dalam sosialisasi vaksinasi individu,” kata Erick.

Menyikapi hal itu, Presiden Asosiasi Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat berpendapat, vaksinasi individu berbayar dapat membuka celah bagi perusahaan untuk membebankan biaya vaksin kepada pekerja. Sementara, saat ini, pekerja sudah mengalami kesulitan untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari akibat terdampak pandemi Covid-19.

Di sektor padat karya, buruh sudah mengalami pemotongan gaji dan pengurangan fasilitas sejak tahun lalu akibat terdampak pandemi. “Keluhan di kalangan buruh, untuk memenuhi kebutuhan hidup saja sekarang kami sulit, apalagi untuk membayar vaksin dengan harga nyaris Rp 900.000. Lebih baik membeli beras untuk makan sehari-hari,” ujar Mirah saat dihubungi, Selasa (13/7/2021).

Lebih lanjut, menurutnya, argumentasi pemerintah bahwa vaksinasi berbayar diadakan untuk mengakomodasi keterbatasan akses VGR Kadin tidaklah tepat. Ujung-ujungnya program itu tetap tidak akan efektif, karena pekerja di perusahaan-perusahaan kecil dan padat karya yang sebenarnya paling membutuhkan vaksinasi umumnya tidak mampu membeli vaksin.

“Harga sebesar itu untuk dibebankan ke perusahaan saja sudah berat, karena sekarang ini banyak perusahaan yang sulit beroperasi di tengah pembatasan dan penurunan pendapatan. Apalagi kalau karyawan yang harus membayar sendiri dengan harga yang sama. Jadi, percuma, bisa-bisa tidak laku juga,” katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, harga vaksinasi berbayar ditetapkan sebesar Rp 879.140 untuk penyuntikan dua dosis. Itu sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor HK.01.07/Menkes/4643/2021 mengenai harga vaksin Sinopharm untuk skema gotong royong bagi perusahaan.

Harga pembelian satu dosis vaksin adalah Rp 321.660 dengan tarif maksimal pelayanan vaksinasi Rp 117.910. Di dalamnya sudah termasuk pungutan margin atau keuntungan 20 persen dari tarif pembelian vaksin dan 15 persen dari tarif pelayanan vaksinasi. Tarif yang sama itu akan dipakai untuk pelaksanaan program vaksinasi berbayar individu.

Menurut Mirah, di tengah kondisi krisis kesehatan seperti ini, vaksinasi seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Dibandingkan meminta perusahaan membayar bagi karyawan atau bahkan membebani biaya vaksin itu pada karyawan, seharusnya pemerintah dapat memperbanyak sentra vaksinasi gratis untuk masyarakat dan mempercepat distribusinya.

“Untuk mendapat vaksin, pekerja sekarang sedang mencari akses untuk vaksinasi gratis, karena perusahaan tidak menyediakan. Seharusnya, akses untuk vaksinasi gratis itu lebih dimudahkan dan dimaksimalkan,” kata Mirah.

Celah legitimasi

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menilai, jika pemerintah tetap berkukuh mengadakan vaksinasi berbayar, regulasi terkait penetapan harga vaksin harus diubah. Harga Rp 879.140 tidak mungkin diterapkan ke masyarakat atau karyawan, mengingat tarif tersebut bahkan dianggap berat oleh pengusaha.

“Saya ragu bisa terjual karena segmen pasarnya tidak tepat. Kalau mau bicara percepatan vaksinasi, aksesnya harus lebih mudah dari segi harga, sekitar Rp 100 ribu-150 ribu masih wajar. BUMN jangan lah berpikir untung-rugi, yang penting dosis vaksin yang sudah dibeli bisa terserap dan tidak mubazir,” kata Timboel.

Ia juga mengkhawatirkan, vaksinasi berbayar yang hanya dibatasi untuk karyawan perusahaan yang terdaftar di VGR oleh Kadin, akan membuka celah legitimasi untuk perusahaan membebani biaya vaksin yang sudah mereka pesan ke pekerja. Perusahaan bisa meminta pekerja membayar sendiri, atau beban tersebut bisa dialihkan lewat pemotongan upah atau tunjangan pekerja.

Secara regulasi, hal itu juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Covid-19. Kedua peraturan itu menegaskan, karyawan tidak boleh dipungut biaya untuk vaksinasi.

“Ini dapat memunculkan persoalan baru lagi, membuka celah konflik dan sengketa antara perusahaan dan pekerja,” kata Timboel.

Idealnya, menurut dia, perusahaan memperbanyak sentra vaksinasi gratis bagi masyarakat dengan menggandeng BUMN serta Kadin. Sebab, jika semakin banyak masyarakat dan karyawan di sektor-sektor produktif yang mendapat vaksinasi secara merata, semakin cepat pula roda ekonomi bergerak.

“Katanya suplai ada, kenapa tidak disegerakan. Tidak harus sampai menjual vaksin ke masyarakat,” katanya.

Persoalan ini sempat ditanyakan oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh dalam rapat dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Selasa, di Kompleks Parlemen, Senayan. Nihayatul meminta kejelasan terkait pernyataan Erick Thohir mengenai batasan penerima vaksinasi berbayar itu dan dampak jika karyawan perusahaan harus membayar biaya vaksin itu sendiri.

Namun, Budi tidak menjawab pertanyaan itu secara spesifik. Menurut Budi, jika ada perusahaan yang tidak sanggup secara finansial untuk mengikuti vaksinasi gotong royong oleh Kadin, mereka bisa menunggu jatah vaksin gratis melalui program pemerintah.[]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News