93 Pengungsi Rohingya Ditahan di Langsa, Organisasi Masyarakat Sipil Kritik Penanganan Pemerintah

Share

NUKILAN.id | Langsa – Sebanyak 93 pengungsi Rohingya ditahan di depan Terminal Tipe A, Simpang Lhee, Langsa Barat, Kota Langsa, pada Senin (17/2/2025). Mereka terdiri dari 32 laki-laki, 51 perempuan, dan 10 anak-anak. Penahanan ini terjadi setelah bus yang mereka tumpangi terjaring dalam razia Operasi Keselamatan Seulawah 2025 yang digelar oleh Polres Langsa sekitar pukul 10.00 WIB.

Menurut keterangan sopir bus, pengungsi tersebut dijemput dari wilayah Kabupaten Bireuen dan rencananya akan dibawa ke Pekanbaru. Namun, saat razia berlangsung di Langsa, bus yang mereka tumpangi ditahan tanpa nomor polisi, dan para pengungsi kemudian ditempatkan di terminal tersebut selama 10 jam. Yang menjadi sorotan, selama penahanan berlangsung, pihak berwenang seperti Imigrasi dan Kepolisian tidak melakukan proses pendataan pengungsi.

Setelah penahanan selama berjam-jam, pada pukul 20.00 WIB, para pengungsi dimasukkan kembali ke dalam bus dan dikembalikan ke lokasi awal penjemputan di Bireuen. Hingga saat ini, berbagai lembaga kemanusiaan mengaku tidak mendapatkan akses untuk memberikan bantuan kepada para pengungsi.

Pada hari yang sama, pemerintah dan pihak terkait menggelar rapat koordinasi untuk membahas nasib para pengungsi tersebut. Hasil dari rapat tersebut memutuskan bahwa para pengungsi akan dikembalikan ke lokasi penjemputan.

Kasus ini memunculkan kritik tajam dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang menilai bahwa buruknya penanganan pengungsi bukan kali pertama terjadi di Aceh. Sebelumnya, pada November 2024, pengungsi Rohingya sempat telantar dan tidak mendapatkan hak dasar mereka setelah diangkut menggunakan truk dalam perjalanan selama 48 jam dari Aceh Selatan ke Banda Aceh sebelum akhirnya tiba di Kantor Wilayah Kemenkumham Aceh.

Organisasi masyarakat sipil menyoroti keputusan pemerintah yang mengembalikan pengungsi ke lokasi awal penjemputan sebagai tindakan keliru dan berpotensi membahayakan keselamatan mereka. Mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri, disebutkan bahwa kepolisian memiliki kewajiban untuk mengamankan pengungsi dan menyerahkannya kepada pihak Imigrasi untuk didata. Langkah ini bertujuan memastikan status mereka sebagai pengungsi atau imigran.

Selain itu, organisasi masyarakat sipil menilai bahwa tindakan yang diambil oleh pemerintah mencerminkan lemahnya koordinasi antara instansi terkait dalam menangani pengungsi. Mereka menyoroti bahwa Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri seharusnya berperan dalam mengoordinasikan setiap tahapan mulai dari penemuan, penampungan, pengamanan, hingga pengawasan pengungsi, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Perpres tersebut.

Tak hanya itu, dalam Pasal 31 ayat (3) Perpres 125/2016 juga ditegaskan bahwa instansi pemerintah wajib menciptakan kondisi aman guna menghindari pengungsi dari berbagai tindak kejahatan. Oleh karena itu, tindakan pengembalian pengungsi ke lokasi awal penemuan dinilai sangat berisiko karena mereka dapat menjadi korban eksploitasi atau tindak kejahatan lainnya.

Koalisi masyarakat sipil juga menyesalkan sikap Pemerintah Kota Langsa yang dinilai tidak menangani pengungsi sesuai dengan aturan yang ada. Dalam pernyataannya kepada media pada Senin (17/2/2025), Pj Wali Kota Langsa menyatakan bahwa pihaknya menolak kehadiran 93 pengungsi yang sempat ditahan di Terminal A Kota Langsa. Pernyataan ini berbanding terbalik dengan rekam jejak Kota Langsa di masa lalu yang dikenal sebagai salah satu daerah dengan praktik penanganan pengungsi terbaik di Aceh.

Karena itu, organisasi masyarakat sipil mendesak Pemerintah Kota Langsa untuk kembali mengedepankan prinsip kemanusiaan dalam menangani pengungsi Rohingya. Mereka berharap pemerintah berkomitmen dalam memastikan perlindungan terhadap pengungsi sesuai dengan Perpres 125/2016 dan standar kemanusiaan yang telah diterapkan sebelumnya. Dengan menempatkan solidaritas dan kemanusiaan sebagai prioritas utama, Aceh dapat tetap dikenal sebagai wilayah yang ramah terhadap mereka yang membutuhkan perlindungan.

Adapun organisasi yang tergabung dalam pernyataan bersama ini antara lain AWPF, KontraS Aceh, YKMI, PKBI, Rumah Relawan Remaja, SUAKA, dan Yayasan Panca Jiwa Madani (YPJM).

Editor: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News