NUKILAN.id | Banda Aceh — Pada tanggal 30 April 1492, sejarah dunia memasuki babak baru. Di Kota Santa Fe, Spanyol, Ratu Isabella dari Kastilia dan Raja Ferdinand dari Aragon menandatangani sebuah dokumen penting yang memberikan izin resmi kepada Christopher Columbus untuk memulai ekspedisi pencarian rute barat menuju Asia. Dokumen itu dikenal sebagai Capitulaciones de Santa Fe.
Langkah berani kerajaan Katolik Spanyol ini ternyata menjadi titik tolak dari sebuah revolusi global. Ekspedisi Columbus tak membawa rempah-rempah Asia, tetapi justru membuka jalan bagi penemuan Benua Amerika dan awal dari era kolonialisme Eropa di Dunia Baru.
“Perjanjian ini menjanjikan Columbus gelar kehormatan Admiral of the Ocean Sea, hak atas 10 persen kekayaan yang ditemukan, serta jabatan gubernur atas wilayah yang ia klaim,” dikutip Nukilan.id dari tulisan Samuel Eliot Morison dalam buku Admiral of the Ocean Sea: A Life of Christopher Columbus (1942).
Keyakinan yang Mengubah Dunia
Christopher Columbus (1451–1506) adalah pelaut dan penjelajah asal Genoa, wilayah yang kini menjadi bagian dari Italia. Ia meyakini bahwa bumi itu bulat, dan bahwa pelayaran ke barat dari Eropa akan lebih cepat sampai ke Asia daripada rute ke timur yang dikuasai Kesultanan Ottoman.
Namun, keyakinan ini awalnya ditolak. Pada 1485, Columbus sempat mengajukan proposalnya kepada Raja Portugal, namun ditolak karena dianggap terlalu berisiko. Baru setelah jatuhnya Granada—tanda berakhirnya kekuasaan Islam di Spanyol pada Januari 1492—Ratu Isabella bersedia mendanai rencana ambisiusnya.
“Setelah perjanjian itu ditandatangani, Columbus memulai pelayarannya pada 3 Agustus 1492 dengan tiga kapal: Santa María, Pinta, dan Niña,” sebut Phillips & Phillips dalam The Worlds of Christopher Columbus (1992).
Mendarat di “Dunia Baru”
Puncak dari pelayaran itu terjadi pada 12 Oktober 1492. Berdasarkan catatan The Diario of Christopher Columbus’s First Voyage to America, 1492-1493 yang diterbitkan oleh University of Oklahoma Press, Columbus dan anak buahnya mendarat di sebuah pulau yang kini diketahui sebagai bagian dari Kepulauan Bahama. Columbus menamakannya San Salvador, dan ia percaya telah tiba di Asia Timur.
Kesalahan inilah yang membuatnya menyebut penduduk asli sebagai “Indian”, sebuah kekeliruan yang terus bertahan dalam sejarah.
Ekspedisi itu berlanjut ke Kuba dan Hispaniola (sekarang Haiti dan Republik Dominika), di mana Columbus mendirikan pemukiman La Navidad, permukiman Eropa pertama di benua Amerika.
Namun, penemuan ini bukan tanpa konsekuensi.
Luka di Balik Penemuan
Di balik kisah penjelajahan yang melegenda, tercatat pula babak kelam yang menyusul setelahnya. Sistem encomienda yang diterapkan membuat penduduk asli, suku Taíno, terjerumus dalam kerja paksa. Penyakit-penyakit Eropa seperti cacar menyebar dan memusnahkan populasi lokal.
Dalam Columbus: The Four Voyages (2011), Laurence Bergreen menyebut bahwa Columbus bahkan membawa ratusan penduduk asli ke Spanyol sebagai budak. Kekerasan, eksploitasi, dan kekeliruan geografis menjadi bagian dari warisan Columbus yang rumit.
“Hingga akhir hayatnya pada 1506, Columbus bersikukuh bahwa ia telah mencapai Asia, bukan benua baru,” tulis Bergreen.
Warisan yang Diperdebatkan
Di Eropa, Columbus pernah dipuja sebagai pahlawan penjelajah. Tapi di Amerika, banyak pihak memandangnya sebagai simbol penjajahan dan penindasan. Di Amerika Serikat, peringatan Columbus Day pada 12 Oktober kini banyak digantikan dengan Indigenous Peoples’ Day, sebagai bentuk penghormatan terhadap korban kolonialisme.
Meski membuka era pertukaran global—yang oleh para sejarawan disebut sebagai Columbian Exchange—penjelajahan Columbus juga memicu kerusakan ekologis dan krisis kemanusiaan.
Tanaman seperti kentang dan jagung memang diperkenalkan ke Eropa, tetapi penyakit dan invasi biologis juga ikut mengalir ke Dunia Baru. (XRQ)
Reporter: AKIL