NUKILAN.id | Opini – Hari ini, Aceh memperingati 19 tahun sejak Kesepakatan Helsinki ditandatangani, sebuah perjanjian yang mengakhiri konflik bersenjata selama tiga dekade antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bagi banyak orang, perjanjian ini adalah simbol perdamaian dan harapan baru. Namun, bagi sebagian besar masyarakat Aceh, perdamaian ini terasa belum lengkap. Meskipun senjata telah diletakkan, luka batin akibat kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama konflik masih terasa perih.
Rasa sakit dan kekecewaan masih membayangi masyarakat Aceh, terutama mereka yang menjadi korban langsung kekerasan selama masa konflik. Banyak dari mereka yang diseret, dibentak, bahkan dilecehkan di depan keluarga mereka. Sayangnya, meskipun sudah 19 tahun berlalu, hak-hak para korban ini masih diabaikan. Implementasi Kesepakatan Helsinki, yang seharusnya membawa keadilan dan pemulihan bagi mereka yang terluka, masih jauh dari memadai.
Rencana Pembangunan Aceh (RPA) hingga 2026, yang seharusnya menjadi panduan bagi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, ternyata belum sepenuhnya mencakup partisipasi korban konflik, terutama perempuan dan anak muda. Mereka yang paling menderita selama konflik kini tampaknya kembali terlupakan dalam upaya pembangunan pascaperdamaian.
Di tengah situasi ini, munculnya nama Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem sebagai calon gubernur Aceh menjadi sorotan. Mualem, yang pernah menjadi panglima GAM dan kini memimpin Komite Peralihan Aceh (KPA), diharapkan bisa membawa perubahan yang signifikan dalam implementasi Kesepakatan Helsinki. Namun, apakah ia mampu mengemban tanggung jawab moral untuk menuntaskan persoalan pelanggaran HAM masa lalu dan memenuhi hak-hak korban konflik?
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh, yang baru aktif setelah desakan kuat dari masyarakat sipil, adalah contoh nyata dari minimnya komitmen pemerintah dalam merealisasikan janji-janji Helsinki. Mualem harus memahami bahwa KKR bukan hanya soal formalitas, melainkan tentang menghadirkan keadilan yang nyata bagi para korban. Reparasi yang ditawarkan pemerintah Aceh beberapa tahun lalu—berupa uang tunai—ditolak oleh banyak pihak karena dianggap tidak memadai. Apa yang dibutuhkan bukan sekadar uang, tetapi pemulihan menyeluruh yang mencakup pengakuan, kebenaran, dan keadilan.
Hamid Awaluddin, mantan Menteri Hukum dan HAM, serta Malik Mahmud, tokoh GAM, keduanya mengakui bahwa implementasi MoU Helsinki sering kali tidak berjalan sesuai harapan. Pelanggaran HAM yang terjadi selama masa status Daerah Operasi Militer (DOM) masih belum tuntas. Dengan ribuan korban yang terbunuh dan terluka, pertanggungjawaban atas pelanggaran ini menjadi isu yang sangat krusial. Apakah Mualem mampu memberikan jawaban yang memuaskan bagi para korban dan masyarakat Aceh?
Pemerintah Aceh ke depan harus memastikan bahwa suara korban tidak lagi diabaikan. Keadilan bagi korban harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar janji kampanye. Mualem, sebagai mantan pemimpin GAM, memikul beban moral untuk menyelesaikan persoalan ini dengan baik. Tanpa langkah konkret untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, perdamaian di Aceh akan tetap terasa rapuh dan tidak lengkap. Perdamaian sejati hanya bisa tercapai jika keadilan ditegakkan dan hak-hak para korban dipenuhi. Mualem harus membuktikan bahwa dia adalah pemimpin yang mampu membawa perubahan yang dibutuhkan Aceh. Bukan hanya sebagai panglima masa lalu, tetapi sebagai pemimpin masa depan yang membawa keadilan dan kedamaian bagi seluruh rakyat Aceh. (XRQ)
Penulis: Akil Rahmatillah