Thursday, May 2, 2024

Permasalahan Anak yang Tidak Melanjutkan Sekolahnya, Begini Kata Aishah

NUKILAN.id | Banda Aceh – Provinsi Aceh daerah modal NKRI yang mendapatkan keistimewaan dari konstitusi karena sentralisasi dan ketidakadilan yang menimbulkan konflik. Kemudian berproses melahirkan otonomi khusus yang diperkuat melalui MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 dan melahirkan UU nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang Menjadi Landasan Yuridis Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Aceh.

Kumulatif konflik bersenjata yang terjadi mengganggu kedamaian dan telah mengakibatkan angka kemiskinan tertinggi pada tahun 2002 mencapai 29,80% dan pada tahun 2000 di angka 15,20%, ditambah lagi dengan bencana gempa dan tsunami yang berdampak pada tingginya angka pengangguran mencapai 12.50% pada tahun 2005. Hal ini disebabkan kondisi rekam jejak Aceh tersebut tidak terjadi di provinsi lainnya yang selama ini menjadi karakteristik kontras dalam mengukur angka kemiskinan di provinsi paling barat Indonesia ini.

Otonomi dan sistem desentralisasi dalam pendidikan seharusnya memberikan pengaruh besar dalam kemajuan pendidikan atau dapat menjadi agen dalam mendorong pertumbuhan pendidikan. Namun, banyak kendala dalam pelaksanaannya, seperti kurangnya sumber daya yang mana sistem desentralisasi memerlukan sumber daya manusia, keuangan, dan teknologi informasi yang memadai. Jika sumber daya ini tidak tersedia, penerapan sistem desentralisasi bisa menjadi sulit dan tidak efektif. Jika pemerintah kurang dalam mendukung sistem desentralisasi, otomatis sistem ini tidak akan mampu memerbaiki masalah pendidikan di tingkat lokal.

Menanggapi hal tersebut, CEO Save Education Aceh (SEA) sekaligus guru SMPN 1 Banda Aceh, Aishah mengatakan, pendidikan di Aceh berdampak dari permasalahan kemiskinan dan pula mengakibatkan restriksi akses terhadap pendidikan yang menimbulkan bermacam permasalahan. Dalam kondisi ini, keluarga miskin sering dijumpai tidak memiliki sumber daya finasial yang cukup untuk membayar biaya pendidikan dan kebutuhan lainnya seperti transportasi, makan, dan pakaian.

Hal ini bisa membuat anak-anak terkendala aksesnya menuju gerbang pendidikan. Kemudian kualitas pendidikan, sekolah-sekolah di daerah miskin seringkali memiliki fasilitas kurang memadai dan kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas, seperti guru yang terlatih dan ketersediaan buku pelajaran. Hal tersebut memengaruhi kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa. Kehadiran siswa di sekolah menjadi perhatian juga karena keluarga miskin seringkali memerlukan bantuan ekonomi untuk anak-anak mereka.

Aishah juga menyampaikan, anak sering absen dari sekolah demi membantu keluarga mencari nafkah. Kesehatan juga berdampak karena seringkali keluarga miskin tidak memiliki akses yang memadai untuk layanan kesehatan yang dapat memperburuk kondisi kesehatan. Kondisi kesehatan yang buruk dapat menyebabkan kurangnya konsentrasi dalam proses pembelajaran. Semua ini memengaruhi kinerja akademis siswa dan mempersempit peluang mereka untuk suskes di sekolah dan dalam kehidupan.

Sebutnya, seperti kayaknya masyarakat di pedesaan terkendala dengan faktor ekonomi yang semakin sulit dan kurangnya keterampilan untuk menopang hidup menjadikan ini masalah serius. Banyak anggota keluarga yang merelakan anaknya tumbuh tanpa pendidikan. Terlebih kepada anak perempuan. Banyak anak perempuan yang putus sekolah tidak memiliki keterampilan yang dapat menopang kehidupan mereka. Di samping itu banyak anak perempuan yang mengalami penderitaan diakibatkan tidak adanya pegangan hidup sehingga mereka dengan mudah terbujuk dan termakan godaan di zaman yang sangat sarat dengan keterbukaan komunikasi.

Ia juga menambahkan, anak-anak remaja baik perempuan ataupun laki-laki menghadapi tantangan ekonomi ini dirasakan dengan meningkatnya biaya hidup, tingginya pengangguran, dan ketidakpastian ekonomi yang dapat menyulitkan remaja untuk memeroleh pekerjaan yang layak dan stabil. Hal ini dapat menyebabkan remaja merasa tertekan dan tidak memiliki kepastian masa depan yang jelas.

“Sebahagian dari mereka tidak memiliki keterampilan untuk menopang hidup, kurangnya keterampilan yang relevan dengan pasar kerja dapat menjadi hambatan bagi remaja dalam mencari pekerjaan yang sesuai dan berkelanjutan,” ucapnya saat diwawancarai Nukilan.id, Senin (18/3/2024).

Aishah menambahkan, remaja yang tidak memiliki keterampilan yang cukup, mungkin merasa tidak siap untuk bersaing di pasar kerja yang kompetitif. Maka akan berdampak terhadap psikologisnya, yaitu ketidakpastian ekonomi dan ketidakmampuan untuk menopang hidup. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis remaja. Mereka mungkin mengalami stres, kecemasan, dan depresi karena merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri maupun keluarga.

“Mereka juga merasa adanya penyesalan dan rasa tidak berdaya karena tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk mencapai tujuan hidup mereka,” pungkasnya.

Reporter : Auliana Rizky

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img