Wednesday, May 8, 2024

Ini Dia Jenis-jenis Gratifikasi Aparatur Pengadilan

Nukilan.id – Para hakim dan aparatur pengadilan wajib melaporkan setiap pemberian yang melebihi Rp 1 juta terkait pertunangan, pernikahan, kelahiran, khitanan, atau upacara adat/agama lainnya. Nilai Rp 1 juta itu merupakan batas maksimal yang boleh diterima dari satu pemberi. Apabila melebihi jumlah tersebut, para aparatur pengadilan wajib melaporkannya sebagai bentuk gratifikasi.

Ketentuan itu diatur dalam Surat Keputusan (SK) Kepala Badan Pengawas MA Nomor 28/BP/SK/III/2021 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian Gratifikasi di MA dan Badan Peradilan di bawahnya.

SK yang diterbitkan pada Maret lalu itu memberikan pengertian yang lebih luas terhadap gratifikasi. Gratifikasi tak hanya mencakup pemberian berwujud uang, tetapi juga meliputi pemberian diskon, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas pengobatan, perjalanan wisata, dan pemberian hiburan.

Wakil Ketua Mahkamah Bidang Yudisial yang juga juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, saat dikonfirmasi Selasa (13/7/2021) mengungkapkan, SK Kepala Badan Pengawas MA Dwiarso Budi Santiarto merevisi SK serupa sebelumnya, yaitu SK Kabawas Nomor 31/BP/SK/2020. SK tersebut diterbitkan sebagai petunjuk teknis pelaksanaan pengendalian gratifikasi di MA dan badan peradilan di bawahnya. Tujuan dan sasarannya adalah untuk mewujudkan aparatur MA yang berintegritas, bersih, dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Ruang lingkup SK tersebut mengenai hal-hal terkait dengan pengendalian gratifikasi, yang meliputi klasifikasi gratifikasi, gratifikasi bagi hakim, pelapor gratifikasi, mekanisme pelaporan gratifikasi, tindak lanjut gratifikasi, dan penanganan setelah penetapan status barang gratifikasi.

Dalam SK tersebut, dijelaskan tentang klasifikasi gratifikasi yang wajib dilaporkan dan tidak dilaporkan. Gratifikasi wajib dilaporkan jika berhubungan dengan jabatan dan/atau berlawanan dengan kewajiban atau tugas.

Gratifikasi jenis ini wajib ditolak kecuali jika situasi tidak memungkinkan bagi hakim atau aparatur pengadilan itu menolaknya. Situasi tersebut misal karena tidak diterima secara langsung, pemberi gratifikasi tidak diketahui, penerima ragu dengan kualifikasi gratifikasi, atau adanya kondisi seperti mengakibatkan rusaknya hubungan baik institusi, membahayakan diri sendiri/karier penerima/ada ancaman lain. Kondisi tersebut juga berlaku bagi keluarga hakim atau aparatur.

Contoh gratifikasi yang wajib dilaporkan, antara lain pemberian uang dan/atau setara uang, barang, fasilitas, dan/atau akomodasi yang diberikan sebagai ucapan terima kasih terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi hakim dan aparatur. Selain itu, pemberian hiburan, paket wisata, fasilitas biaya pengobatan gratis, dan voucer dalam bentuk uang dan/atau setara uang.

Adapun bentuk penerimaan yang tidak wajib dilaporkan, di antaranya pemberian di dalam keluarga (kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, anak/menantu dan lain-lain), keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum, manfaat dari koperasi, perangkat/perlengkapan yang diberikan kepada peserta kegiatan kedinasan seperti seminar, lokakarya, konferensi, dan pelatihan atau kegiatan sejenis.

Selain itu, hadiah tidak dalam bentuk uang/alat tukar yang dimaksudkan sebagai alat promosi/sosialisasi sepanjang tidak mengandung konflik kepentingan dan hadiah dari kejuaraan/kompetisi.

MA pun membatasi pemberian terkait pertunangan, pernikahan, kelahiran, akikah, baptis, khitanan, atau upacara adat/agama lain dengan batasan nilai Rp 1 juta per pemberi. Aparatur pengadilan juga tidak wajib melaporkan kompensasi atau honor atas profesi di luar kegiatan kedinasan yang tidak terkait dengan tugas dan kewajiban, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan dan tidak melanggar peraturan/kode etik pegawai/pejabat bersangkutan.

Djuyamto dari Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara saat ditanya mengenai SK tersebut menilai ketentuan-ketentuan tersebut memperjelas apa yang bisa dilakukan dan tidak dilakukan hakim dan aparatur pengadilan.

Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan Tripeni Irianto Putro (kanan) bersama sejumlah hakim anggota PTUN Medan seusai diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Ruang Aula Utama Polisi Resor Kota (Polresta) Medan, Sumatera Utara, Kamis (9/7/2015). KPK mengamankan empat pejabat di jajaran PTUN Medan, yakni tiga hakim dan satu panitera tentang dugaan gratifikasi pada Kamis pagi.

Juru bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting, mengapresiasi penerbitan SK Kabawas tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Gratifikasi pada MA dan Badan Peradilan di Bawahnya. SK ini akan semakin memperkuat pengawasan terhadap perilaku hakim. Selain itu, memperkuat kode etik dan pedoman perilaku hakim yang sudah ada di mana SK itu memuat beberapa prinsip yang sejalan, seperti butir berperilaku jujur dan berintegritas tinggi.

KY, tambahnya, senantiasa siap mendukung pelaksanaan surat keputusan itu agar dapat diterapkan secara efektif. Ini penting demi menjaga dan menegakkan kehormatan hakim.

”Karena upaya gratifikasi kepada hakim sesungguhnya adalah bentuk paling nyata penghinaan terhadap kehormatan hakim,” ujarnya.[kompas.id]

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img